Kamis, 24 Maret 2016

Kurelakan Dia untuk Beranjak Pergi



Sabtu, 19 Maret 2016
Kutatap wajahnya lekat-lekat,
Kutahu ia terlihat risih.
Entah kapan lagi bisa menatapnya,
Sedekat itu lagi.

Senin, 21 Maret 2016
Dia mendatangiku.
Mengembalikan buku.
Meminjam benda keperluannya esok hari.
Lagi-lagi kutatap ia.
Lekat-lekat.

Selasa, 22 Maret 2016
Kurancang jadwal menemuinya.
Berharap izin itu datang dari partner kerja.
Alhamdulillah pucuk dicita ulam pun tiba.
Kutarik gas motor menuju gerbang penyambutan.
Kerumunan manusia, gerah, tak surutkan niat berjumpa dengannya
Kala manusia berjubah hitam keluar satu per satu,
Kutebarkan pandangan mencari sosoknya.
Kulangkahkan mendekatinya,
Menerobos pagar manusia,
Kulepaskan rengkuhan kepadanya.
Pelukannya mendarat pula padaku.
Hangat.
Barakallah, saudariku.
Walau sekejap membersamainya,
karena harus kembali ke tempat kerja.
Kebahagiaanku begitu membuncah.

Kamis, 24 Maret 2016
Tinggal menghitung hari.
Dia akan melenggang pergi.
Setelah 6 tahun lebih kita bersama.
Dia yang meninggalkanku.
Sangat sedikit sekali interaksi kita.
Namun, jauh dalam lubuk hati.
Aku selalu mencintainya,

Saudariku, selamat berkontribusi di belahan bumi yang lain.
Kita masih menginjak di bumi yang sama,
Kita masih beratapkan langit yang sama.

Semoga Allah senantiasa menjaganya.
Memeluknya dengan cahaya-Nya yang tiada pernah redup,
Sebanyak apapun perbedaan di antara kita,
Itu adalah anugerah dari Allah,
yang telah mempertemukan kita sedari awal.
Dan saat perpisahan ini tiba.
Cintaku padanya makin kuat.
Kurelakan ia beranjak dari sini.
Kuatkanlah pundak kami untuk mengemban amanah dari-Mu, Yaa Rabb.....
Di manapun kami berada, tautkanlah hati kami, Yaa Rabb......
Istiqomahkan kami di atas jalan-Mu.

Aqidah telah mempersatukan kita
Dakwah telah mempertemukan kita.
Bertemu dan berpisahnya kita karena Allah.....
Teruslah saling berkirim cinta lewat do'a.
Ma'afkanlah segala khilafku selama ini.


Dariku,

Saudari Halaqah Cinta

Sabtu, 27 Februari 2016

Kriteria Pemuda Islam Keren Masa Kini

Kalau sobat sudah baligh, segala perkara amal menjadi tanggung jawabmu sendiri di akhirat kelak lho. Nah peran orangtua adalah mengantarkan sobat agar siap menghadapi segala tantangan setelah baligh. Kalau ternyata sobat punya tipe orangtua yang ngga mempersiapkan bekal buatmu jauh-jauh hari yaaa ngga usah protes. Daripada energinya dibuang sia-sia untuk hal yang tidak bermanfaat, lebih baik dipakai untuk memperbaiki diri selagi nyawa masih di kandung badan. Inget bro and sis, hidup kita di dunia ini hanya sebentar. Bagus lagi kalau perubahan baik dalam dirimu, sobat tularkan juga ke keluarga. Ga ada istilah galau dalam kamus hidupmu. Sahabat nabi terdahulu, walaupun masih muda prestasinya gemilang. Nah, teladani mereka. Insyaa Allah akan memperoleh banyak ilmu.

Pernah minder gara-gara ngga ikut hangout atau nongkrong tanpa tujuan yang jelas bareng temen-temenmu karena ngga dibolehin orangtua? Saya ingetin kembali yaaaa, Rasulullah Saw berpesan gunakan dengan baik lima perkara sebelum datangnya lima perkara. Salah satunya adalah masa mudamu sebelum tuamu. So, manfaatin masa mudamu untuk melakukan kebaikan. Jauhkan diri dari aktivitas kesia-siaan yang seharusnya waktumu itu bisa sobat gunakan untuk meningkatkan kapasitas diri atau berbagi dengan sesama melalui kegiatan sosial kemanusiaan. Menjadi pemuda muslim sejati bukan berarti kuper, tapi harus pandai mencari dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk benteng penjagaan dirinya dari paham-paham yang membuatmu bakal condong pada dunia dan menjauhkan dari akhirat. Sehingga lama kelamaan sobat bisa mengidap penyakit wahn, yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati.


Jangan ngaku menjadi pemuda muslim yang keren dan kekinian sebelum sobat mempunyai kriteria berikut ini:

1. Hatinya selalu terikat dengan masjid
Hohoho, jarang sekali nih pemuda muslim yang menyadari pentingnya mengikatkan hati dengan masjid. Bisa jadi rumahnya sebelah masjid, eeehhh saat adzan shubuh masih selimutan. Padahal yaaa kalau sobat tahu, pemuda yang hatinya terikat dengan masjid akan memperoleh naungan di hari akhir saat tak ada naungan satupun kecuali naungan Allah Swt. yessss..., itu janji Allah Swt. Ngga percaya? yuk buktiin entar di akhirat yaaa..., hohoho (Yaa Allah izinkan kami menatap wajah-Mu di hari akhir dan buatlah wajah kami berseri-seri di hadapan-Mu)

2. Mempunyai konsep diri yang jelas
Islam tidak pernah mengenal istilah remaja yang katanya masa pencarian jati diri. Islam menggolongkan muslim yang sudah baligh sebagai pemuda. Pemuda muslim harus menyadari dirinya diciptakan di muka bumi sebagai khalifah fil ardl yang menumpas segala bentuk kebathilan sekaligus terus berjuang untuk terus istiqomah dalam beribadah kepada Allah Swt. Terus belajar untuk menjadi hamba Allah Swt 100%. Bukan hamba harta, tahta dan wanita. Kalau sobat punya teman yang hobinya tilawah, tahajud, dhuha, dzikir dll bisa dijadikan partner untuk meningkatkan kualitas diri (dipilih yaaa, cari yang semahram agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan. alih-alih sebagai motivasi, malah bisa bikin dosa kalau bukan mahramnya)

3. Mandiri dan mempunyai jiwa kepemimpinan
Bukan saatnya lagi untuk bermanja-manjaan ke orangtua. Sadarlah kau pemuda, sekarang saatnya sobat mandiri menjalankan segala tugas. Termasuk mencuci baju, hehe. Malu kalau tugas sekecil itu diberikan kepada asisten rumah tangga atau ibu! Sobat juga perlu mengasah jiwa kepemimpinan yang dimiliki. Ingat, pemimpin berbeda dengan bos yang seenaknya menyuruh ini itu. Sobat harus melatih tanggung jawab, merencanakan, mengorganisasi, dan mengeksekusi apa-apa yang menjadi amanahmu.

4. Berwawasan luas nan cerdas
Tentunya pemahaman agama menjadi bekal utama agar disiplin ilmu manapun yang bakal sobat pelajari tidak mampu mengikis aqidah yang sobat rawat selama ini. Semoga dengan seperti itu, ilmu sobat membawa keberkahan dan kebaikan hingga ke akhirat. Doa terus sama Allah agar diberi pemahaman yang luas dan mendalam sehingga mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Sobat perlu banyak mengikuti kajin keislaman, seminar, meningkatkan budaya membaca serta diskusi yang bermanfaat. 

5. Dekat dengan Alqur'an
Huuummm...... pemuda islam yang keren dan kekinian pasti punya hafalan qur'an. dan terus belajar untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas bacaan alqur'annya.

Sebenarnya masih banyak kriteria pemuda islam keren dan kekinian, cukup segitu dulu yaaaaa..., Lima poin di atas kalau sudah sobat jalani insyaa Allah akan membuat titik tolak perubahan yang besar dalam hidup sobat. Masih ngga yakin? coba amalkan..., see you next time...,

Senin, 12 Januari 2015

Corat coret untuk Saudari

Untuk membahagiakan orang lain, kita tidak harus selalu memberikan sesuatu yang mahal. Hadiah kecil yang kau berikan dengan usaha sendiri bisa jadi mampu membahagiakannya. Walaupun mungkin kurang bagus. It's oke. Yang penting usaha. n_n
Nah sebagai contoh, mbuatin gambar-gambar di bawah ini. Spesial untuk teman-teman yang kita sayangi. Cara membuatnya simpel banget.
1. Tentuin karakter atau background orang yang ingin kamu gambar. Ya sebisa kamu lah.
2. Mulai mensketsa gambar di atas HVS menggunakan pensil 2B atau 3B (HVS A4 bisa kamu bagi menjadi 4 bidang untuk gambar yang berbeda. Jadi hemat kertas. Kalau bisa buat lebih dari itu lebih bagus.)
3. Tebali hasil sketsa dengan spidol sesuai warna yang kamu inginkan
4. Hapus bekas sketsa pensil yang terlihat di gambarmu,
5. Scan gambarmu menjadi file .jpg
6. Hasil scan dicopy sebanyak jumlah gambar
7. Edit masing-masing foto. Bisa lewat Microsoft picture manager. di-Crop. Atur gelap terang. Dilanjut di Paint untuk menghapus sisa-sisa sketsa yang masih terlihat atau bagian spidol yang mbleber.
8. Ok fiks. Finish.
Sederhana bukan? Yaaa kuncinya kita mau menyediakan sedikit waktu untuk saudari kita.
Nah, gambar di bawah ini didedikasikan untuk kreator gambar. Supaya termotivasi untuk segera lulus dan wisuda. hehe. Senantiasa menyertakan Allah Swt di setiap aktivitas dan selalu tenang menghadapi tantangan yang digambarkan lewat aliran air di bawah. Kreator juga menyisipkan bendera dan tulisan Jepang. Pengen ke sana suatu saat. Dan satu tujuan yang ingin didatangi pula adalah Mekah. Berhaji n_n. Yang pastinya, hidup kita tidak cukup untuk diri sendiri, kita juga perlu memikirkan orang lain. So, tuuu kreator menggambarkan banyak orang di pikirannya.


 Gambar di bawah ini untuk Hesti dwi rahayu, mahasiswa pendidikan biologi Unnes. Dibuat pas dia masih PPL tahun 2014. Adik imut-imut yang pemalu. Tingkatin lagi keberanianmu ya, nduk! n_n
 Hehehe, nih gambar didekasikan wat seluruh muslimah jurusan biologi yang mengambil mata kuliah fisiologi tumbuhan. Merawat jagung! harus sabar.........
Hmm ini gambar buat siapa yaaaa? Yuhui. Buat adik kos yang hebring. Fathimatuz Zahro. Pendidikan Kimia 2013. Asal Purwodadi. Kalau belajar kaya aku dulu pas SMP. Harus dilisankan. Hehe. Sekarang sudah jadi Bu dewan Fmipa. Barokalloh.
 Nih gambar wat Yulista Setya Kanthi. Asal Batang. Pendidikan Kimia 2011. Berkacamata. Cukup hebring juga, hehe.
 Kalau yang di bawah ini khusus buat Farid Fuadiyah. Pendidikan Matematika 2013. Adik kos yang hobinya olahraga jogging di lapangan FIK. Kalau naik motor ngebut. Sukses wat kuliahnya ya! semangat dakwahnya juga jangan sampai luntur.
 Yang ini spesial wat Dewi Khoirunnisa. Pendidikan Fisika 2010. Asal Cirebon. Hobinya jalan-jalan. track record-nya di rohis di bagian Syiar. Dulu sering banget main ke kosku hanya sekadar ngasih puding, jajan atau apalah. terus pulang lagi ke kosnya. niat banget, hehe. jazakillah for every thing.
 Ini nih temennya Dewi, Hitznaitindis Syifaul Aghnia. Asal Semarang asli daerah Pedurungan. Hobinya ndengerin musik. anaknya rame dan asyik diajak ngobrol.
Eehhm, ni buat Azmi Fitria Pratiwi. Asal Kajen. Kabupaten Pekalongan. Hobinya maem yaaa neng. hehehe. kapan-kapan main ke rumah anti lagi ah. semoga kesampean.
 Khusus nih wat Khoirunnisa, Pendidikan kimia 2009. Sekarang masih mengikuti program SM3T di kabupaten kutai barat Kalimantan. suksesmendidik generasi Indonesia yach! salam perjuangan!
Bingung membuat karakternya Khoridatun, adik kos jurusan bahasa Indonesia. yaudah deh, digambarin pas lagi perform ajaaa. tapi sampai sekarang belum pernah dengar khori deklamasi puisi di kos.
 Barokalloh wat Nindya Ayu Saputri. Yang dapat kesempatan memberikan pidato perwakilan mahasiswa di jurusan matematika dan fakultas mipa di moemn wisuda oktober 2014 kemarin, Semangat hidupmu luar biasa. Mandiri dan ulet. Pinter lagi. Istiqomah yaaa liqonya. Joss dah! Suka banget baca komik apalagi yang postingan online tuuu. u_u. hehehe
 Ini wat mb Reni Asriningrum edisi 1. Diprotes n minta dibikinin lagi. Hiks
 Eaaa mbak Miskatun Nuroniah. nih gambar buat mbak. Yang hobi gadgetan, membaca buku, menulis. By the way, warna korden di kamar tidur mbak apa? Hehe. Warna kesukaannya merah. Seperti orangnya yang selalu bersemangat.
 Mbak Reni Asriningrum edisi 2. Pesen yang ada topi, apel ma kupu-kupunya. Hadeuuuh. hehe. Filosofi apel tuuu menurut mitologi Yunani, kalau ada orang memberikan apel kepadamu tandanya ia menyanyangi atau mencintaimu, jika kamu memakannya berarti kau juga memiliki perasaan yang sama, eeaa.

Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Sorry yaaa kalau gambarnya jelek. namanya juga usaha! hehe

Rabu, 31 Desember 2014

Sepenggal Ayat Cinta dari Ibunda

Sinar mentari mengintip di balik tirai jendela kamar kosku. Saraf penerima rangsang segera menghantarkan pesannya ke otak hingga Aku tersadar dari tidurku yang sebentar akibat begadang semalaman. Tugas-tugas kuliah menumpuk setiap hari. Menyisakan kertas-kertas yang berserakan di seluruh penjuru kamar berdinding merah muda ini.
Seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, Akupun mengalokasikan waktu sebanyak-banyaknya untuk berkutat dengan diktat-diktat perkuliahan. Tuntutan wajib Ayahku di setiap akhir pekan senantiasa terngiang jelas di telinga ini, “IPKmu harus terpuji.”
Waktu terus bergulir. Kini, masa-masa semester lima harus aku nikmati walaupun rasanya lebih pahit dari obat jenis apapun. Ritual perkuliahan ini membuatku jenuh, memunculkan sebuah hasrat untuk terlepas dari belenggu dan berlari dari sel penjara yang membosankan.
Dengan malas, kuraih Blackberry di meja samping ranjang. Pukul 05.50. Setidaknya masih ada waktu 30 menit bagiku untuk persiapan sebelum berangkat kuliah. Sudah lama kutinggalkan sholat Shubuh karena kupikir akan menyita waktu istirahatku. Begitupun waktu sholat yang lain. Bukan hal yang penting.
Dahulu, semasa Bunda masih hidup seringkali meneleponku untuk bangun dan menunaikan sholat Shubuh. Mengalah kepada beliau dan berjalan menuju sumber air wudhu dengan menjatuhkan tengkuk ke depan. Kini, tidak ada lagi yang meneleponku di kala Shubuh. Ayah terlalu sibuk dengan urusannya. Teman-teman kos sama saja. Bangun siang.
“Siiiaaaaang, Debbie. Sudah bangun? Tumben agak pagian nih.” Tanya Sheli, teman sekosku.
“Yupp, jadwal mata kuliah hari Selasa. Wajib datang sebelum pukul 07.00” jawabku.
“Ohh, ya ya ya. Jadwalnya Pak Kardi ya? Selamat menikmati nuansa indah dunia pengadilan di kelas ya. Hehe…”
***
Hilir mudik pelanggan di Cafetaria Mipa Universitas Abdisetya. Teriakan pelanggan dari titik ke titik menggemuruhkan ruangan. Pelayan tengah sibuk memenuhi seruan manusia-manusia kelaparan. Sedangkan Aku, masih bercengkerama erat dengan laptop dan jus wortel di hadapanku. Lekat.
Kala kulemparkan pandanganku ke arah salah satu sudut ruangan, kulihat sosok mahasiswa yang sejak semester satu Aku kagumi. Pemuda yang ganteng, cerdas dan kaya. Dari kejauhan Aku pandangi ia, hingga mataku bertemu dengan matanya dan ia menganggukkan kepala. Haduh, Aku jadi salah tingkah. Segera kulemparkan pandanganku ke arah kanan. Kemudian Aku temukan secarik kertas A3 tertempel di papan informasi kantin bertuliskan judul besar BAKTI SOSIAL PEDULI UMAT. Penasaran. Aku dekati pamflet tersebut. Oh, acara yang diselenggarakan Rohis fakultas Mipa. Menerima berbagai perlengkapan ibadah yang layak pakai untuk disumbangkan ke umat muslim yang membutuhkan. Hhmm, sepertinya di kosku banyak. Aku sudah tidak mempergunakannya lagi.  Lebih baik Aku sumbangkan saja, daripada tidak terpakai.
“Deb, kamu lagi ngapain?” suara Najwa membuyarkan alam pikiranku. Najwa, mahasiswi sekelasku yang super sibuk. Organisatoris yang tidak pernah memperoleh nilai di bawah 80.
“Ya, Naj. Emm, Aku lagi baca pamflet ini.”
“Kamu berminat? Kalau mau menyumbang nanti lewat Aku bisa kok. Kalau Debbie tidak punya kesempatan untuk menyalurkannya secara langsung, sms Aku saja. Debbie cukup menyiapkan barang-barangnya, nanti Najwa ambil di kos Debbie.” Terang Najwa bersemangat. Seperti biasanya.
“Oh, ya. Terima kasih. Kalau jadi, nanti Aku sms kamu.”
“Oke, Aku tunggu ya. Aku duluan ya, Deb. Mau ke mushola tercinta, sholat dhuha. Mau ikut? Bareng yuk.”
“Ha? Ehmm, eehm, ikut ngga ya? kamu duluan saja. Saya masih ada urusan lain.”
“Ya sudah. Lain kali kalau Aku ajak lagi, mau ya? Musholanya kangen sama kamu lho. Hehe. Assalamu’alaykum.”
Kubalas pertanyaan Najwa dengan senyum canggung. Aku tidak bisa berjanji. Aku tidak tahu kapan Aku bisa memulai kembali untuk mendirikan sholat. Aku sudah lupa bacan sholat. Aku sudah begitu jauh dengan agama. Hidupku kini hanya sebagai robot pengemban tugas Ayah. Kuliah. IPK tinggi.
***
“Debbie, tadi siang Joe ngomong ke Aku. Katanya nanti malam dia mau mengajak kamu ke pusat kota.” Terang Sheli kala kumerebahkan badan di kamar akibat kelelahan mengikuti perkuliahan hari ini. Sontak Aku kaget dan segera bangkit dari posisi semula.
“Appaaa! Beneran!?? Tadi siang baru saja Aku ketemu sama dia!” Aku kegirangan.
“Iya, siap-siap sana. Jam 18.30 dia menemui kamu.”
“Masa iya? Ini bukan mimpi kan? Sheli, bantuin Aku untuk persiapan dong.”
“Siiip! Jangan lupa pakai bandana merah mudamu ya! hehe”
Hatiku berbunga-bunga. Orang yang selama ini Aku kagumi, akhirnya mengajakku untuk jalan-jalan. Aku harus mempersiapkan diri secantik mungkin malam ini. Dan, sepertinya Aku tidak perlu menyampaikan hal ini kepada Ayah. Aku tidak mau kena marah.
Kubuka lemari baju. Berbagai model, corak dan motif baju berjajar dengan rapi. Kupilih-pilih baju yang cocok untuk nanti malam. Yup, ketemu. Blackberryku bordering. Sebuah nomor asing tertera di sana. Apa mungkin Joe?
“Halo.” Aku penasaran.
“Ya, halo. Assalamu’alaykum. Debbie, ini Najwa. Sore ini Najwa mau berkeliling kos mengambil barang-barang bakti sosial. Apa Debbie punya barang-barang yang mau disumbangkan?”
“Oh, Najwa. Aku kira siapa. Hhmm, Aku belum mengecek kembali. Ya nanti Aku siapkan dulu. Kamu capek ngga? Kalau capek berkeliling, nanti Aku kirim ke kosmu saja gimana?”
“Ngga perlu, biar Aku saja yang mengambil, Deb.” Tolak najwa
“Gini, nanti malam Aku mau pergi. Sekalian mampir ke kosmu. Perjalanannya lewat depan kosmu, kok. Masih di gang harmoni kan? Daripada kamu bolak-balik, Naj.”
“Oh gitu, ya sudah nanti malam kutunggu ya. Terima kasih. Assalamu’alaykum”
“Ya, wa’alaykumussalam.” Kuputus telepon, dan kemenghela napas. Bukan telepon dari Joe.
Segera Aku cari barang-barang yang bisa disumbangkan. Sebuah mukena berwarna merah muda tersimpan di lemari, tumpukan pakaian bagian paling bawah, entah kapan terakhir kali Aku mengenakannya untuk sholat. Kumasukkan mukena itu ke dalam plastik hitam.
Di rak-rak buku, Aku melihat sebuah kitab al-Qur’an pemberian Bundaku sebelum Aku berangkat ke Jakarta untuk kuliah perdana. Apakah akan Aku sumbangkan pula? Sepertinya lebih baik kusumbangkan, akan lebih bermanfaat di tangan orang lain. Karena jika terus berada di rakku, hanya akan menjadi pajangan yang usang. Aku juga sudah lama tidak membukanya. Terakhir kali membaca, saat semester satu di agenda mentoring pertemuan terakhir. Dengan bacaan super terbata-bata dan dituntun dengan sabar oleh mentor. Aku lupa siapa nama mentornya. Ya, di pertemuan akhir mentoring, karena setelah itu tidak ada sangkut pautnya dengan nilai mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam jadi Aku memutuskan untuk tidak mengikuti mentoring lagi. Berbeda dengan Najwa, teman sekelompok mentoringku juga. Kini, dia sudah menjadi mentor.
***
Apakah malam ini mimpi? Berduaan dengan Joe, cowok yang banyak ditaksir oleh cewek-cewek kampus. Yang katanya baik hati dan belum pernah jalan dengan cewek jurusan manapun di Universitas Abdisetya. Aku ditraktir es krim di pasar malam pusat kota. Sebelumnya Aku juga belum pernah keluar malam ke pusat kota. Kerjaanku hanya begadang di dalam kamar kos untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah.
Di antara rasa senang yang menyebar di penjuru hati, sebenarnya dalam satu sudut hati mengatakan kegamangannya. Menyuarakan ketidaknyamanannya. Seolah-olah yang sedang bergurauan dengan Joe ini adalah bukan diriku. Tapi makhluk lain yang sedang merindukan kasih sayang dari orang lain.
“Debbie, ini sudah jam sebelas malam. Mau balik ke kos atau mampir ke rumahku?” Tanya Joe.
“Ke rumahmu? Ngga lah, langsung balik ke kos saja.” Jawabku.
“Tapi ini sudah malam, apa kamu ngga takut kalau mengganggu teman-temanmu yang sudah pada istirahat dan malu dilihat tetangga kos lainnya?”
“Kalau Aku ke rumahmu sama saja kan?”
“Tidak, Debbie. Rumahku jarang penduduk, jadi tidak apa jika pulang malam.”
“Keluargamu?”
“Tenang, nanti disediakan kamar sendiri kok. Kami biasa menerima tamu. Tidak apa-apa. Apalagi dengan teman sendiri.”
Aku bingung mau memutuskan seperti apa. Namun, akhirnya kumengikuti permintaan Joe.
***
“Rumahmu luas sekali. Ke mana keluargamu yang lain, Joe?”
“Mereka mungkin sudah tidur.” Jawab Joe dengan tenang.
Aku dipersilakan memasuki salah satu kamar rumah untuk beristirahat di sana. Joe pergi menuju tempat lain. Aku ingin segera tidur, namun terhenyak ketika kuingat barang sumbanganku masih di dalam tas dan belum kuserahkan ke Najwa. Najwa pasti marah besar karena lama menungguku. Segera kuraih tasku. kubuka plastik hitam berisi mukena merah muda dan al-Qur’an. Entah mengapa hatiku bergetar melihat al-Qur’an pemberian Bunda. Kubuka lembaran demi lembaran. Memoriku terpanggil memunculkan bayangan Bunda dalam kenanganku di masa silam. Yang menuntunku kala terjatuh. Yang mengusap air mata yang menetes di kedua pipiku. Yang mengajarkanku huruf hijaiyah. Yang menasihatiku,
Ketika kau di perguruan tinggi, jagalah dirimu baik-baik. Ketika Bunda tidak lagi di sisi. Jagalah kehormatanmu dengan sekuat tenaga. Jangan biarkan laki-laki yang tidak beradab, mendekatimu sedikitpun. Walau ia begitu memesonakan hatimu. Bawalah tanda cinta dari Bunda berupa al-Qur’an ini, jadikanlah ia pedoman hidup bagimu di manapun kau berada, sayang. Pupuklah cinta di dalam hatimu dengan keikhlasan dalam beribadah kepadaNya. Debbie, Bunda sangat mencintaimu.
Buliran air mata menetes satu demi satu dari kedua ujung mataku. Apa yang telah Aku lakukan selama ini? Bunda begitu menyanyangiku, mengapa Aku melupakan segala yang menjadi nasihatnya. Dan kini, Aku mengkhianati segala amanah darinya. Bahkan, Aku telah mendustai segala perintah dari Sang Pencipta. Betapa hina dan kotornya diriku. Bunda,ma’afkan aku. Aku tidak mau di tempat ini. Aku mau pulang. Aku tidak mau berada di rumah ini. Aku harus pulang. Malam ini juga.
Cklek, cklek, cklek cklek. Kenapa? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Kenapa? Aku menggedor-gedor pintu. Memanggil Joe supaya membukakan pintu. Kugedor pintu makin keras hingga akhirnya terdengar derap langkah kaki menuju pintu. Aku agak menjauh. Akhirnya pintu dibuka. Tapi, yang ada di balik pintu adalah tubuh yang berbau alkohol. Dengan mata merah menyala. Mata seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Dan dengan membabi buta hendak meraih tubuhku.
Aku sangat takut. Aku ambil barang-barang di dekatku. Sekenaku. Kulempar ke arah Joe yang tengah mabuk. Joe makin ganas. Aku berteriak. Menjerit. Meminta tolong. Aku tersandung kaki meja. Terjatuh. Ya Tuhan, ampuni aku. Jika selama ini Aku mendustakanMu. Jauh dari diriMu. Tuhan, Aku ingin menjaga amanah Bundaku. Kan kupertahankan kehormatanku semampuku.
Aku berusaha bangun dan mengangkat kursi besi di dekatku dan memukulkannya ke bahu Joe. Dia tersungkur jatuh. Namun, segera bangkit. Aku sangat gemetaran. Nafasku tersengal-sengal. Ya Tuhan, bantu hambaMu ini. Ampuni Aku. Sungguh, Aku tidak ingin mati sia-sia. Tenagaku sudah tidak cukup untuk melawan Joe. Lemas. Tulang-tulangku seperti terlepas dari tubuhku. Tidak bisa tegak kembali. Aku menjerit makin keras. Hingga akhirnya terdengar suara dentuman yang keras dan tubuh Joe menimpaku. Tapi, dia sudah tidak bergerak. Diam. Suasana hening. Aku mendengar ada isakan tangis wanita tua. Kusingkirkan tubuh Joe dariku. Kulihat histeris wanita tersebut yang segera merengkuh tubuhku dan memeluk dengan erat.
“Sebelum dia terbangun, segera lari dari sini, Nak. Pakai motor di depan. Ini bawa kuncinya.”
“Ibu siapa?”
“Saya Ibunya Joe. Ibu sudah tidak kuat dengan tingkahnya yang sering membawa wanita ke rumah. Ibu belum mampu melawannya selama ini. Dan wanita-wanita yang diajak ke rumah juga dengan rela dijamah anakku. Ibu hanya bisa menangis. Jeritanmu membangunkan tidur Ibu. Ayo, Nak. Segera pergi dari sini sebelum dia terbangun. Tapi tolong, rahasiakan peristiwa malam ini.”
Aku segera menerima kunci motor dari Ibu Joe. Mengambil tas. Dan mencium tangan Ibu Joe. Hingga di daun pintu, kubalikkan badanku. Ibu Joe masih terisak-isak di hadapan tubuh Joe yang masih pingsan.
***
Hujan mengguyur. Kuterjang air yang jatuh dengan rapat dari langit. Berbaur dengan air mataku di wajah. Kelenjar air mata ini sudah tidak mampu dibendung. Meluapkan rasa bersalahku. Kumpulan dosa-dosa yang menumpuk. Apakah akan terampuni?
Kendali motor kubiarkan melaju pesat. Ingin segera Aku kembali ke kos. Tapi, Aku butuh orang lain untuk kujadikan sebagai sandaran. Aku harus mencari orang yang bisa kupercaya. Pikiranku tertuju pada satu nama, Najwa. Ya, Aku harus menemuinya.
Tok tok tok. Tok tok tok.
“Najwa, bukakan pintu untukku. Najwa, tolong Aku. Tolong Aku. hiks hiks. Apa kau masih tidur, Naj? Bukakan pintu untukku.”
Kulihat jam tangan. Pukul 02.55.
Aku duduk tersungkur di sebelah pintu. Tanpa tersadar, Aku pun tertidur. Tak lama kemudian, ada tangan lembut yang mengusap kepala dan tanganku. Aku terbangun. Di depanku sudah ada seseorang yang sangat asing bagiku. Dia mengajakku memasuki kos. Akupun memenuhi ajakannya.
Semenit kemudian, Najwa muncul dari balik tirai bermotif bunga-bunga. Dia mendekatiku dan segera memelukku erat.
“Ada apa, Deb?”
Aku balas pelukannya seerat mungkin. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku. Tangisanku kembali meledak. Jemari Najwa menyeka tangisku.
“Tegarlah, Debbie. Mari ke kamarku. Ceritakan semua yang ingin kau ceritakan. Alangkah baiknya, kita mendirikan qiyamul lail terlebih dahulu.”
Hatiku makin pilu, “Aku sudah lupa bacaan sholat.”
Najwa terlihat kaget, kemudian tersungging sebuah senyuman yang tulus di bibirnya.
“Mari Aku ajari.”
Kubalas senyumannya. Belum pernah Aku merasa sebahagia ini seperti kala bersama Bundaku tercinta.
Paginya, Aku menemukan jiwaku yang sebenarnya. Bunda, Aku sangat mencintaimu. Bunda, terima kasih atas nasihat-nasihatmu. Allah, terimalah taubatku.


Sekian.

I Love You, Abi

Di depanku kini ada gundukan tanah berhias aneka bunga. Siluet senja menembus dedaunan kamboja. Aminan do’a mengalun halus dari lisan-lisan tetangga yang hadir dalam pemakaman istriku tercinta. Seorang wanita yang mendampingi hidupku selama 10 tahun dengan kesabaran yang luar biasa. Kesetiaan yang ia tawarkan kepadaku, membuat sebongkah ketidakrelaan hati berusaha menyusup perlahan kala ia harus meninggalkanku selamanya di dunia ini. Pengorbanan yang ia lakukan begitu besar. Ia menjaga harta dan buah hati semata wayang kami dengan kasih sayang yang tulus. Yaa Allah, izinkan Aku untuk bertemu kembali dengannya di akhirat.
Anakku, Ghulam, hanya bisa melihat dengan pandangan terheran-heran ke arah tanah berbunga itu dengan terus menggerak-gerakkan tangannya. Dan sesekali melihat orang-orang di sekitarnya, di samping kanan dan kiri.
Satu per satu, para tetangga meninggalkan lokasi. Hanya kaum kerabat dekat saja yang menemaniku hingga Aku selesai menatap pusara istriku. Hingga matahari mulai malu dan menyembunyikan diri, Aku dan Ghulam diajak kerabat menuju mobil kami. Kami kembali ke rumah.
^ ^ ^
Di hari ketiga sepeninggal istriku, Aku semakin merindukan kehadirannya. Selama ini, seringkali kutinggal Ia bersama Ghulam di rumah guna penyelesaian proyek di luar kota. Tak tega sebenarnya, namun inilah tuntutan kerja. Ghulam, menderita autis yang baru kami berdua sadari sejak usianya menginjak 7 tahun. Kini usia Ghulam 9 tahun.
“Ghulam, ayo makan sini. Ada masakan kesukaanmu.” Ajakku pada Ghulam yang belum sarapan pagi ini. Namun, tak ada jawaban. Dia asyik dengan crayon-crayonnya.
“Ghulam, ayoooo sini. Beras merah kesukaanmu siap disantap. Kalau tidak mau makan, Abi makan lho.” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Hingga enam kali Aku mengucapkan hal serupa kepadanya. Dan hasilnya tetap nihil. Kuputuskan untuk meletakkan mangkuk makanan di samping tubuhnya. Ternyata dengan cepat , Ghulam menyambar masakan itu. Habis tak tersisa.
“Hhhhmm, enaaak.” Komentar Ghulam. Akupun tersenyum. Tangannya terus bergerak-gerak. Selesai menyuap makanannya yang terakhir, dia berlari-lari memutari meja di ruang tamu. Namun ketika melihat kipas angin di sudut ruang, dia mendekat. Mengamati putaran kipas angin. Terus dan terus. Sepertinya dia sedang memasuki sebuah dunia di sana. Lama. Aku hanya mampu memandangnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
Ghulam memang tidak begitu banyak bicara. Sebenarnya Aku belum begitu mengenalnya. Karena istrikulah yang merawatnya selama ini. Istriku berpesan bahwa apapun yang terjadi dengan Ghulam, jangan sampai dirawat oleh orang lain.
Beberapa menit kemudian, gagang telepon ruang tengah memanggil-manggil, lumayan lama. Aku bergegas menyambutnya.
“Halo, Assalamu’alaykum. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Ya, wa’alaykumussalam, Pak Tanto. Saya Rudi dari kantor.”
“Oiya, Pak Rudi. Ada apa, Pak? Tumben telepon ke sini.”
“Saya mau menyampaikan kalau gambar arsitektur gedung DPRD Kota Probolinggo harus selesai satu minggu lagi. Bisa kan, Pak? Karena dari pihak pemesan sudah membatasi hingga pekan depan.”
“Hhhm, iya Pak. Insya Allah bisa.” Semoga saja Allah mengizinkanku untuk menyelesaikan amanah ini tepat waktu.
“Oke, Pak Tanto perlu tahu juga. Kalau proyek ini tidak selesai pada waktunya, maka kantor kita akan di-black list. Pun, dengan Pak Tanto. Pihak kantor bisa memecat Bapak kalau tidak mengerjakan tugas dengan baik. Karena persaingan di luar sekarang sudah sangat ketat.”
“Iya, Pak. Iya, saya usahakan. Mohon do’anya” jawabku.
“Ya. pekan depan saya ke rumah Bapak untuk mengambil hasilnya. Wassalamu’alaykum, Pak Tanto”
“Wa’alaykumussalam, Pak Rudi.”
Begitu kuletakkan gagang telepon, kedua mataku beralih kepada Ghulam. Dia masih sibuk dengan crayon-crayonnya.
^ ^ ^
Malam demi malam berlalu. Kutuntaskan pekerjaanku di ruang kerja. Aku hanya bisa bekerja setelah Ghulam tertidur. Jadi, di waktu yang sangat singkat ini Aku manfaatkan sebaik-baiknya. Akhirnya pesanan gambar arsitektur sudah selesai dengan sempurna. Besok siang Pak Rudi bisa mengambilnya. Senyum banggaku mengembang.
Biasanya ketika Aku begadang menyelesaikan pekerjaanku, istriku setia menemaniku di ruang kerja. Membawakan secangkir kopi herbal dan tak jarang memijati pundakku kala Aku mulai kelelahan. Alhamdulillah, pekerjaan sudah selesai. Aku segera bangkit menuju kamar tidur.
Esok harinya, kala benang putih sudah muncul dalam kegelapan Aku bangun menunaikan sholat shubuh di masjid. Sepulang dari masjid, badanku kubawa ke ruang kerja. Pintunya terbuka. Aku lupa menutupnya tadi malam. Namun, Aku tak percaya apa yang Aku temui di sana.
“Ghulam!!! Apa yang kamu lakukan! Ini pekerjaan Abi kamu apakan?”
Ghulam yang masih memegang crayon warna merah dan hijau di tangan kanannya, segera lari meninggalkan ruangan.
Aku melihat gambar arsitekturnya. Berantakan. Banyak goresan tidak jelas di semua titik. Apa yang harus kulakukan? Siang ini Pak Rudi mau mengambilnya. Kemarahanku terpancing. Kucari Ghulam. Namun tak kunjung kutemukan. Aku menuju kamarnya. Tidak ada. Kulihat di bawah ranjang. Tidak ada pula. Di dalam lemari bajunya yang cukup besar terdengar suara. Kubuka. Ghulam meringkuk di sana. Kuseret badannya dan segera kupukul tubuh bagian belakang beberapa kali. Dia menangis keras. Akupun tak kuasa mendengar erangan sakit dari mulutnya. Aku mendekapnya segera. Ini bukan salahnya. Bukan salahnya. Bukan.
“Ghulam, mengapa kamu melakukan ini kepada Abi, Ghulam? Apa Ghulam ingin Abi dipecat? Mengapa Ghulam melakukan ini?”
Tangisku benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Mengiringi tangisan Ghulam yang masih keras. Apa yang akan kukatakan kepada Pak Rudi?
Waktu yang dinantikan datang juga. Bel rumah bernyanyi. Kudekati daun pintu utama.
“Assalamu’alaykum, Pak Tanto. Sekarang saya mau menjemput gambar karya Pak Tanto. Gimana? Sudah selesai kan?”
Pak Rudi begitu gembira. Senyum mengembang luas di bibirnya. Hatiku teriris. Sulit rasanya mengatakan hal ini. Namun, harus segera diucapkan.
“Wa’alaykumussalam, Pak Rudi. Silahkan masuk.”
“Saya langsung saja, Pak Tanto. Tidak usah repot-repot.” Senyum lebar itu masih menghiasi wajahnya. Pahit rasanya mengatakan ini semua.
“Pak Rudi, saya minta ma’af,” paras Pak Rudi mulai berubah, “gambar arsitektur yang sudah saya selesaikan tadi malam rusak.”
“Apa! Rusak! Lalu bagaimana dengan proyek kantor kita?!” paras Pak Rudi benar-benar sudah membalik 180 derajat dari semula.
“Iya, Pak. Ghulam mencoretinya.” Jujurku.
“Saya tidak mau tahu! Hari ini juga segera ke kantor menemui bos dan  siap-siaplah untuk menerima pemecatan! Pak Tanto sudah mencoreng nama baik kantor! Saya pamit pulang!.” Pak Rudi benar-benar marah.
Yaa Allah, ampuni hambaMu ini.
^ ^ ^
Sempoyongan badanku menuju pintu rumah. Bos marah besar. Surat pemecatan terdiam di dalam tas hitamku. Hari ini Allah benar-benar mengujiku. Kurebahkan badanku di kamar tidur. Belum sempat memejamkan mata, Aku mendengar suara pukul-pukulan yang cukup keras. Kucari sumber suara pukulan tersebut. Dari dapur. Ghulam!
“Ghulam! Ada apa, Nak! Ghulam!?” Aku sangat panik. Ghulam membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Terus menerus. Aku bingung.
“Ghulam, sadarlah Ghulam!”
Ghulam menangis dan tidak berhenti untuk mempertemukan kepalanya dengan dinding secara kasar. Bahkan dia menjerit-jerit histeris. Kulihat daerah sekitar. Ada bekas gigitan di buah apel merah yang tergeletak di meja dapur.
Segera kubawa Ghulam ke rumah sakit. Tangan dan kakiku turut bergetar. Aku menanti pemeriksaan dokter. Panik. Begitu pintu ruang pemeriksaan dibuka, Aku menghamburkan diri menemui dokter.”
“Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?”
“Apakah Bapak belum pernah menemui kejadian anak Bapak seperti ini sebelumnya?”
“Belum pernah, Dok. Saya jarang sekali di rumah. Istri saya yang merawat dia. Dan istri saya tidak pernah menyampaikan hal apapun kepada saya.” Terangku.
“Ma’af sebelumnya. Karena anak Bapak diuji dengan penyakit autis, dia harus melakukan diet. Tidak makan sembarangan. Sebelumnya Bapak menyampaikan kepada saya kalau Bapak menemukan buah apel di dekatnya. Nah, si penderita autis juga tidak boleh mengonsumsi sayur dan buah-buahan yang mudah berubah warna seperti pada apel dan belimbing. Selama ini dia mengonsumsi beras merah dan beras organik kan?”
“Iya, Dok. Kalau hal itu saya tahu.”
“Ya, bagus.”
“Anak bapak harus diet. Meninggalkan gula, susu, tepung dan sebagainya. Dia masih boleh mengonsumsi ikan dan daging. Jika pantangannya dilanggar maka yang akan terjadi adalah seperti apa yang terjadi pada anak Bapak sekarang ini. Gejala ini dinamakan Tantrum. Dia akan kehilangan kendali emosi. Membentur-benturkan kepalanya. Dan efek ini akan terjadi hingga dua pekan ke depan. Saran saya, biarkan dia di-opname di rumah sakit dulu.”
“Ya, Dokter. Saya mengikuti saran dokter.”
“Oke, Bapak bisa segera mengurus administrasinya ke bagian administrasi. Mari, Bapak.”
“Iya, Dokter. Terima kasih.”
^ ^ ^
“Duhai anakku, ma’afkan Abimu yang belum mampu merawatmu dengan baik seperti Umimu.”
Aku hanya terus bisa memandang buah hatiku penuh haru. Mengusap-usap rambut kepalanya. Tangan dan kakinya diikat di ranjang. Emosinya masih belum stabil.
Sudah sepekan Ghulam menginap di rumah sakit. Sepertinya Aku perlu kembali ke rumah untuk membawakan pakaian ganti dan segala keperluan yang diperlukan Ghulam.
Setiba di rumah, Aku menuju ke kamar Ghulam. Kuambil barang-barang yang perlu dibawa ke rumah sakit. Saat kuambil beberapa baju dari lemari Ghulam, sebuah buku diary bersampul coklat dengan tempelan bunga-bunga dari lilitan benang batang pisang jatuh dari sela-sela tumpukan baju. Buku diary istriku. Lembaran demi lembaran kubuka, kubaca. Dan Aku mulai tertegun membaca salah satu isi diary.
Semarang, 17 November 2009
Duhai suamiku, tahukah kau? Anak kita sudah mulai merajut pendidikan formal. Sekolah luar biasa. Ya, kita harus mensyukuri karunia dari Allah Swt meskipun banyak hinaan datang dari orang sekitar. Suamiku, tahukah kau? Terkadang aku lalai dalam menjaga buah hati kita. Ghulam memakan makanan pantangannya. Dia menjerit-jerit. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa aku lakukan hanya tilawah di hadapannya. Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan. Dan tahukah kau, suamiku? Dia langsung terdiam, menyimak bacaanku. Sejak saat itu, Aku merawat buah hati kita dengan al-Qur’an.
Duhai suamiku, tahukah kau? Di awal-awal sekolah anak kita, Ghulam langsung menunjukkan bakat yang luar biasa. Dia pandai menggambar. Di bulan Oktober kemarin, Ghulam berhasil memenangkan lomba gambar. Jika aku ingat, akan kuperlihatkan kepadamu karya Ghulam. Engkau pasti suka. Sementara aku simpan dulu ya…., kusimpan di laci lemari ini.

Yaa Allah, selama ini apa yang Aku lakukan? Tidak memberikan perhatian sepenuhnya kepada keluarga. Waktuku dengan keluarga hanya waktu sisa. Sisa setelah lama bekerja. Astaghfirullahal ‘adhiim…,
Tanganku beralih dari diary, menuju laci. Terlihat kertas putih di dalamnya. Campuran berbagai warna terlihat di balik kertas itu. Berbaur dengan indah. Kontras. Penuh warna. Kumeneteskan air mata begitu membaca tulisan I LOVE YOU, ABI yang berada di bawah gambar seorang laki-laki. Itu aku. ya aku. Di samping laki-laki itu ada seperangkat alat gambar rancang arsitektur. Rinduku pada Ghulam menyeruak. Ingin segera Aku menemuinya. Mengecup pipinya yang menggemaskan. Dalam keterbatasanmu, ada harta karun yang sangat berharga. Dan engkau hadir karena ketentuan ilahi. I love you too, Ghulam.



Sekian.