Rabu, 31 Desember 2014

Sepenggal Ayat Cinta dari Ibunda

Sinar mentari mengintip di balik tirai jendela kamar kosku. Saraf penerima rangsang segera menghantarkan pesannya ke otak hingga Aku tersadar dari tidurku yang sebentar akibat begadang semalaman. Tugas-tugas kuliah menumpuk setiap hari. Menyisakan kertas-kertas yang berserakan di seluruh penjuru kamar berdinding merah muda ini.
Seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, Akupun mengalokasikan waktu sebanyak-banyaknya untuk berkutat dengan diktat-diktat perkuliahan. Tuntutan wajib Ayahku di setiap akhir pekan senantiasa terngiang jelas di telinga ini, “IPKmu harus terpuji.”
Waktu terus bergulir. Kini, masa-masa semester lima harus aku nikmati walaupun rasanya lebih pahit dari obat jenis apapun. Ritual perkuliahan ini membuatku jenuh, memunculkan sebuah hasrat untuk terlepas dari belenggu dan berlari dari sel penjara yang membosankan.
Dengan malas, kuraih Blackberry di meja samping ranjang. Pukul 05.50. Setidaknya masih ada waktu 30 menit bagiku untuk persiapan sebelum berangkat kuliah. Sudah lama kutinggalkan sholat Shubuh karena kupikir akan menyita waktu istirahatku. Begitupun waktu sholat yang lain. Bukan hal yang penting.
Dahulu, semasa Bunda masih hidup seringkali meneleponku untuk bangun dan menunaikan sholat Shubuh. Mengalah kepada beliau dan berjalan menuju sumber air wudhu dengan menjatuhkan tengkuk ke depan. Kini, tidak ada lagi yang meneleponku di kala Shubuh. Ayah terlalu sibuk dengan urusannya. Teman-teman kos sama saja. Bangun siang.
“Siiiaaaaang, Debbie. Sudah bangun? Tumben agak pagian nih.” Tanya Sheli, teman sekosku.
“Yupp, jadwal mata kuliah hari Selasa. Wajib datang sebelum pukul 07.00” jawabku.
“Ohh, ya ya ya. Jadwalnya Pak Kardi ya? Selamat menikmati nuansa indah dunia pengadilan di kelas ya. Hehe…”
***
Hilir mudik pelanggan di Cafetaria Mipa Universitas Abdisetya. Teriakan pelanggan dari titik ke titik menggemuruhkan ruangan. Pelayan tengah sibuk memenuhi seruan manusia-manusia kelaparan. Sedangkan Aku, masih bercengkerama erat dengan laptop dan jus wortel di hadapanku. Lekat.
Kala kulemparkan pandanganku ke arah salah satu sudut ruangan, kulihat sosok mahasiswa yang sejak semester satu Aku kagumi. Pemuda yang ganteng, cerdas dan kaya. Dari kejauhan Aku pandangi ia, hingga mataku bertemu dengan matanya dan ia menganggukkan kepala. Haduh, Aku jadi salah tingkah. Segera kulemparkan pandanganku ke arah kanan. Kemudian Aku temukan secarik kertas A3 tertempel di papan informasi kantin bertuliskan judul besar BAKTI SOSIAL PEDULI UMAT. Penasaran. Aku dekati pamflet tersebut. Oh, acara yang diselenggarakan Rohis fakultas Mipa. Menerima berbagai perlengkapan ibadah yang layak pakai untuk disumbangkan ke umat muslim yang membutuhkan. Hhmm, sepertinya di kosku banyak. Aku sudah tidak mempergunakannya lagi.  Lebih baik Aku sumbangkan saja, daripada tidak terpakai.
“Deb, kamu lagi ngapain?” suara Najwa membuyarkan alam pikiranku. Najwa, mahasiswi sekelasku yang super sibuk. Organisatoris yang tidak pernah memperoleh nilai di bawah 80.
“Ya, Naj. Emm, Aku lagi baca pamflet ini.”
“Kamu berminat? Kalau mau menyumbang nanti lewat Aku bisa kok. Kalau Debbie tidak punya kesempatan untuk menyalurkannya secara langsung, sms Aku saja. Debbie cukup menyiapkan barang-barangnya, nanti Najwa ambil di kos Debbie.” Terang Najwa bersemangat. Seperti biasanya.
“Oh, ya. Terima kasih. Kalau jadi, nanti Aku sms kamu.”
“Oke, Aku tunggu ya. Aku duluan ya, Deb. Mau ke mushola tercinta, sholat dhuha. Mau ikut? Bareng yuk.”
“Ha? Ehmm, eehm, ikut ngga ya? kamu duluan saja. Saya masih ada urusan lain.”
“Ya sudah. Lain kali kalau Aku ajak lagi, mau ya? Musholanya kangen sama kamu lho. Hehe. Assalamu’alaykum.”
Kubalas pertanyaan Najwa dengan senyum canggung. Aku tidak bisa berjanji. Aku tidak tahu kapan Aku bisa memulai kembali untuk mendirikan sholat. Aku sudah lupa bacan sholat. Aku sudah begitu jauh dengan agama. Hidupku kini hanya sebagai robot pengemban tugas Ayah. Kuliah. IPK tinggi.
***
“Debbie, tadi siang Joe ngomong ke Aku. Katanya nanti malam dia mau mengajak kamu ke pusat kota.” Terang Sheli kala kumerebahkan badan di kamar akibat kelelahan mengikuti perkuliahan hari ini. Sontak Aku kaget dan segera bangkit dari posisi semula.
“Appaaa! Beneran!?? Tadi siang baru saja Aku ketemu sama dia!” Aku kegirangan.
“Iya, siap-siap sana. Jam 18.30 dia menemui kamu.”
“Masa iya? Ini bukan mimpi kan? Sheli, bantuin Aku untuk persiapan dong.”
“Siiip! Jangan lupa pakai bandana merah mudamu ya! hehe”
Hatiku berbunga-bunga. Orang yang selama ini Aku kagumi, akhirnya mengajakku untuk jalan-jalan. Aku harus mempersiapkan diri secantik mungkin malam ini. Dan, sepertinya Aku tidak perlu menyampaikan hal ini kepada Ayah. Aku tidak mau kena marah.
Kubuka lemari baju. Berbagai model, corak dan motif baju berjajar dengan rapi. Kupilih-pilih baju yang cocok untuk nanti malam. Yup, ketemu. Blackberryku bordering. Sebuah nomor asing tertera di sana. Apa mungkin Joe?
“Halo.” Aku penasaran.
“Ya, halo. Assalamu’alaykum. Debbie, ini Najwa. Sore ini Najwa mau berkeliling kos mengambil barang-barang bakti sosial. Apa Debbie punya barang-barang yang mau disumbangkan?”
“Oh, Najwa. Aku kira siapa. Hhmm, Aku belum mengecek kembali. Ya nanti Aku siapkan dulu. Kamu capek ngga? Kalau capek berkeliling, nanti Aku kirim ke kosmu saja gimana?”
“Ngga perlu, biar Aku saja yang mengambil, Deb.” Tolak najwa
“Gini, nanti malam Aku mau pergi. Sekalian mampir ke kosmu. Perjalanannya lewat depan kosmu, kok. Masih di gang harmoni kan? Daripada kamu bolak-balik, Naj.”
“Oh gitu, ya sudah nanti malam kutunggu ya. Terima kasih. Assalamu’alaykum”
“Ya, wa’alaykumussalam.” Kuputus telepon, dan kemenghela napas. Bukan telepon dari Joe.
Segera Aku cari barang-barang yang bisa disumbangkan. Sebuah mukena berwarna merah muda tersimpan di lemari, tumpukan pakaian bagian paling bawah, entah kapan terakhir kali Aku mengenakannya untuk sholat. Kumasukkan mukena itu ke dalam plastik hitam.
Di rak-rak buku, Aku melihat sebuah kitab al-Qur’an pemberian Bundaku sebelum Aku berangkat ke Jakarta untuk kuliah perdana. Apakah akan Aku sumbangkan pula? Sepertinya lebih baik kusumbangkan, akan lebih bermanfaat di tangan orang lain. Karena jika terus berada di rakku, hanya akan menjadi pajangan yang usang. Aku juga sudah lama tidak membukanya. Terakhir kali membaca, saat semester satu di agenda mentoring pertemuan terakhir. Dengan bacaan super terbata-bata dan dituntun dengan sabar oleh mentor. Aku lupa siapa nama mentornya. Ya, di pertemuan akhir mentoring, karena setelah itu tidak ada sangkut pautnya dengan nilai mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam jadi Aku memutuskan untuk tidak mengikuti mentoring lagi. Berbeda dengan Najwa, teman sekelompok mentoringku juga. Kini, dia sudah menjadi mentor.
***
Apakah malam ini mimpi? Berduaan dengan Joe, cowok yang banyak ditaksir oleh cewek-cewek kampus. Yang katanya baik hati dan belum pernah jalan dengan cewek jurusan manapun di Universitas Abdisetya. Aku ditraktir es krim di pasar malam pusat kota. Sebelumnya Aku juga belum pernah keluar malam ke pusat kota. Kerjaanku hanya begadang di dalam kamar kos untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah.
Di antara rasa senang yang menyebar di penjuru hati, sebenarnya dalam satu sudut hati mengatakan kegamangannya. Menyuarakan ketidaknyamanannya. Seolah-olah yang sedang bergurauan dengan Joe ini adalah bukan diriku. Tapi makhluk lain yang sedang merindukan kasih sayang dari orang lain.
“Debbie, ini sudah jam sebelas malam. Mau balik ke kos atau mampir ke rumahku?” Tanya Joe.
“Ke rumahmu? Ngga lah, langsung balik ke kos saja.” Jawabku.
“Tapi ini sudah malam, apa kamu ngga takut kalau mengganggu teman-temanmu yang sudah pada istirahat dan malu dilihat tetangga kos lainnya?”
“Kalau Aku ke rumahmu sama saja kan?”
“Tidak, Debbie. Rumahku jarang penduduk, jadi tidak apa jika pulang malam.”
“Keluargamu?”
“Tenang, nanti disediakan kamar sendiri kok. Kami biasa menerima tamu. Tidak apa-apa. Apalagi dengan teman sendiri.”
Aku bingung mau memutuskan seperti apa. Namun, akhirnya kumengikuti permintaan Joe.
***
“Rumahmu luas sekali. Ke mana keluargamu yang lain, Joe?”
“Mereka mungkin sudah tidur.” Jawab Joe dengan tenang.
Aku dipersilakan memasuki salah satu kamar rumah untuk beristirahat di sana. Joe pergi menuju tempat lain. Aku ingin segera tidur, namun terhenyak ketika kuingat barang sumbanganku masih di dalam tas dan belum kuserahkan ke Najwa. Najwa pasti marah besar karena lama menungguku. Segera kuraih tasku. kubuka plastik hitam berisi mukena merah muda dan al-Qur’an. Entah mengapa hatiku bergetar melihat al-Qur’an pemberian Bunda. Kubuka lembaran demi lembaran. Memoriku terpanggil memunculkan bayangan Bunda dalam kenanganku di masa silam. Yang menuntunku kala terjatuh. Yang mengusap air mata yang menetes di kedua pipiku. Yang mengajarkanku huruf hijaiyah. Yang menasihatiku,
Ketika kau di perguruan tinggi, jagalah dirimu baik-baik. Ketika Bunda tidak lagi di sisi. Jagalah kehormatanmu dengan sekuat tenaga. Jangan biarkan laki-laki yang tidak beradab, mendekatimu sedikitpun. Walau ia begitu memesonakan hatimu. Bawalah tanda cinta dari Bunda berupa al-Qur’an ini, jadikanlah ia pedoman hidup bagimu di manapun kau berada, sayang. Pupuklah cinta di dalam hatimu dengan keikhlasan dalam beribadah kepadaNya. Debbie, Bunda sangat mencintaimu.
Buliran air mata menetes satu demi satu dari kedua ujung mataku. Apa yang telah Aku lakukan selama ini? Bunda begitu menyanyangiku, mengapa Aku melupakan segala yang menjadi nasihatnya. Dan kini, Aku mengkhianati segala amanah darinya. Bahkan, Aku telah mendustai segala perintah dari Sang Pencipta. Betapa hina dan kotornya diriku. Bunda,ma’afkan aku. Aku tidak mau di tempat ini. Aku mau pulang. Aku tidak mau berada di rumah ini. Aku harus pulang. Malam ini juga.
Cklek, cklek, cklek cklek. Kenapa? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Kenapa? Aku menggedor-gedor pintu. Memanggil Joe supaya membukakan pintu. Kugedor pintu makin keras hingga akhirnya terdengar derap langkah kaki menuju pintu. Aku agak menjauh. Akhirnya pintu dibuka. Tapi, yang ada di balik pintu adalah tubuh yang berbau alkohol. Dengan mata merah menyala. Mata seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Dan dengan membabi buta hendak meraih tubuhku.
Aku sangat takut. Aku ambil barang-barang di dekatku. Sekenaku. Kulempar ke arah Joe yang tengah mabuk. Joe makin ganas. Aku berteriak. Menjerit. Meminta tolong. Aku tersandung kaki meja. Terjatuh. Ya Tuhan, ampuni aku. Jika selama ini Aku mendustakanMu. Jauh dari diriMu. Tuhan, Aku ingin menjaga amanah Bundaku. Kan kupertahankan kehormatanku semampuku.
Aku berusaha bangun dan mengangkat kursi besi di dekatku dan memukulkannya ke bahu Joe. Dia tersungkur jatuh. Namun, segera bangkit. Aku sangat gemetaran. Nafasku tersengal-sengal. Ya Tuhan, bantu hambaMu ini. Ampuni Aku. Sungguh, Aku tidak ingin mati sia-sia. Tenagaku sudah tidak cukup untuk melawan Joe. Lemas. Tulang-tulangku seperti terlepas dari tubuhku. Tidak bisa tegak kembali. Aku menjerit makin keras. Hingga akhirnya terdengar suara dentuman yang keras dan tubuh Joe menimpaku. Tapi, dia sudah tidak bergerak. Diam. Suasana hening. Aku mendengar ada isakan tangis wanita tua. Kusingkirkan tubuh Joe dariku. Kulihat histeris wanita tersebut yang segera merengkuh tubuhku dan memeluk dengan erat.
“Sebelum dia terbangun, segera lari dari sini, Nak. Pakai motor di depan. Ini bawa kuncinya.”
“Ibu siapa?”
“Saya Ibunya Joe. Ibu sudah tidak kuat dengan tingkahnya yang sering membawa wanita ke rumah. Ibu belum mampu melawannya selama ini. Dan wanita-wanita yang diajak ke rumah juga dengan rela dijamah anakku. Ibu hanya bisa menangis. Jeritanmu membangunkan tidur Ibu. Ayo, Nak. Segera pergi dari sini sebelum dia terbangun. Tapi tolong, rahasiakan peristiwa malam ini.”
Aku segera menerima kunci motor dari Ibu Joe. Mengambil tas. Dan mencium tangan Ibu Joe. Hingga di daun pintu, kubalikkan badanku. Ibu Joe masih terisak-isak di hadapan tubuh Joe yang masih pingsan.
***
Hujan mengguyur. Kuterjang air yang jatuh dengan rapat dari langit. Berbaur dengan air mataku di wajah. Kelenjar air mata ini sudah tidak mampu dibendung. Meluapkan rasa bersalahku. Kumpulan dosa-dosa yang menumpuk. Apakah akan terampuni?
Kendali motor kubiarkan melaju pesat. Ingin segera Aku kembali ke kos. Tapi, Aku butuh orang lain untuk kujadikan sebagai sandaran. Aku harus mencari orang yang bisa kupercaya. Pikiranku tertuju pada satu nama, Najwa. Ya, Aku harus menemuinya.
Tok tok tok. Tok tok tok.
“Najwa, bukakan pintu untukku. Najwa, tolong Aku. Tolong Aku. hiks hiks. Apa kau masih tidur, Naj? Bukakan pintu untukku.”
Kulihat jam tangan. Pukul 02.55.
Aku duduk tersungkur di sebelah pintu. Tanpa tersadar, Aku pun tertidur. Tak lama kemudian, ada tangan lembut yang mengusap kepala dan tanganku. Aku terbangun. Di depanku sudah ada seseorang yang sangat asing bagiku. Dia mengajakku memasuki kos. Akupun memenuhi ajakannya.
Semenit kemudian, Najwa muncul dari balik tirai bermotif bunga-bunga. Dia mendekatiku dan segera memelukku erat.
“Ada apa, Deb?”
Aku balas pelukannya seerat mungkin. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku. Tangisanku kembali meledak. Jemari Najwa menyeka tangisku.
“Tegarlah, Debbie. Mari ke kamarku. Ceritakan semua yang ingin kau ceritakan. Alangkah baiknya, kita mendirikan qiyamul lail terlebih dahulu.”
Hatiku makin pilu, “Aku sudah lupa bacaan sholat.”
Najwa terlihat kaget, kemudian tersungging sebuah senyuman yang tulus di bibirnya.
“Mari Aku ajari.”
Kubalas senyumannya. Belum pernah Aku merasa sebahagia ini seperti kala bersama Bundaku tercinta.
Paginya, Aku menemukan jiwaku yang sebenarnya. Bunda, Aku sangat mencintaimu. Bunda, terima kasih atas nasihat-nasihatmu. Allah, terimalah taubatku.


Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar