Rabu, 31 Desember 2014

I Love You, Abi

Di depanku kini ada gundukan tanah berhias aneka bunga. Siluet senja menembus dedaunan kamboja. Aminan do’a mengalun halus dari lisan-lisan tetangga yang hadir dalam pemakaman istriku tercinta. Seorang wanita yang mendampingi hidupku selama 10 tahun dengan kesabaran yang luar biasa. Kesetiaan yang ia tawarkan kepadaku, membuat sebongkah ketidakrelaan hati berusaha menyusup perlahan kala ia harus meninggalkanku selamanya di dunia ini. Pengorbanan yang ia lakukan begitu besar. Ia menjaga harta dan buah hati semata wayang kami dengan kasih sayang yang tulus. Yaa Allah, izinkan Aku untuk bertemu kembali dengannya di akhirat.
Anakku, Ghulam, hanya bisa melihat dengan pandangan terheran-heran ke arah tanah berbunga itu dengan terus menggerak-gerakkan tangannya. Dan sesekali melihat orang-orang di sekitarnya, di samping kanan dan kiri.
Satu per satu, para tetangga meninggalkan lokasi. Hanya kaum kerabat dekat saja yang menemaniku hingga Aku selesai menatap pusara istriku. Hingga matahari mulai malu dan menyembunyikan diri, Aku dan Ghulam diajak kerabat menuju mobil kami. Kami kembali ke rumah.
^ ^ ^
Di hari ketiga sepeninggal istriku, Aku semakin merindukan kehadirannya. Selama ini, seringkali kutinggal Ia bersama Ghulam di rumah guna penyelesaian proyek di luar kota. Tak tega sebenarnya, namun inilah tuntutan kerja. Ghulam, menderita autis yang baru kami berdua sadari sejak usianya menginjak 7 tahun. Kini usia Ghulam 9 tahun.
“Ghulam, ayo makan sini. Ada masakan kesukaanmu.” Ajakku pada Ghulam yang belum sarapan pagi ini. Namun, tak ada jawaban. Dia asyik dengan crayon-crayonnya.
“Ghulam, ayoooo sini. Beras merah kesukaanmu siap disantap. Kalau tidak mau makan, Abi makan lho.” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Hingga enam kali Aku mengucapkan hal serupa kepadanya. Dan hasilnya tetap nihil. Kuputuskan untuk meletakkan mangkuk makanan di samping tubuhnya. Ternyata dengan cepat , Ghulam menyambar masakan itu. Habis tak tersisa.
“Hhhhmm, enaaak.” Komentar Ghulam. Akupun tersenyum. Tangannya terus bergerak-gerak. Selesai menyuap makanannya yang terakhir, dia berlari-lari memutari meja di ruang tamu. Namun ketika melihat kipas angin di sudut ruang, dia mendekat. Mengamati putaran kipas angin. Terus dan terus. Sepertinya dia sedang memasuki sebuah dunia di sana. Lama. Aku hanya mampu memandangnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
Ghulam memang tidak begitu banyak bicara. Sebenarnya Aku belum begitu mengenalnya. Karena istrikulah yang merawatnya selama ini. Istriku berpesan bahwa apapun yang terjadi dengan Ghulam, jangan sampai dirawat oleh orang lain.
Beberapa menit kemudian, gagang telepon ruang tengah memanggil-manggil, lumayan lama. Aku bergegas menyambutnya.
“Halo, Assalamu’alaykum. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Ya, wa’alaykumussalam, Pak Tanto. Saya Rudi dari kantor.”
“Oiya, Pak Rudi. Ada apa, Pak? Tumben telepon ke sini.”
“Saya mau menyampaikan kalau gambar arsitektur gedung DPRD Kota Probolinggo harus selesai satu minggu lagi. Bisa kan, Pak? Karena dari pihak pemesan sudah membatasi hingga pekan depan.”
“Hhhm, iya Pak. Insya Allah bisa.” Semoga saja Allah mengizinkanku untuk menyelesaikan amanah ini tepat waktu.
“Oke, Pak Tanto perlu tahu juga. Kalau proyek ini tidak selesai pada waktunya, maka kantor kita akan di-black list. Pun, dengan Pak Tanto. Pihak kantor bisa memecat Bapak kalau tidak mengerjakan tugas dengan baik. Karena persaingan di luar sekarang sudah sangat ketat.”
“Iya, Pak. Iya, saya usahakan. Mohon do’anya” jawabku.
“Ya. pekan depan saya ke rumah Bapak untuk mengambil hasilnya. Wassalamu’alaykum, Pak Tanto”
“Wa’alaykumussalam, Pak Rudi.”
Begitu kuletakkan gagang telepon, kedua mataku beralih kepada Ghulam. Dia masih sibuk dengan crayon-crayonnya.
^ ^ ^
Malam demi malam berlalu. Kutuntaskan pekerjaanku di ruang kerja. Aku hanya bisa bekerja setelah Ghulam tertidur. Jadi, di waktu yang sangat singkat ini Aku manfaatkan sebaik-baiknya. Akhirnya pesanan gambar arsitektur sudah selesai dengan sempurna. Besok siang Pak Rudi bisa mengambilnya. Senyum banggaku mengembang.
Biasanya ketika Aku begadang menyelesaikan pekerjaanku, istriku setia menemaniku di ruang kerja. Membawakan secangkir kopi herbal dan tak jarang memijati pundakku kala Aku mulai kelelahan. Alhamdulillah, pekerjaan sudah selesai. Aku segera bangkit menuju kamar tidur.
Esok harinya, kala benang putih sudah muncul dalam kegelapan Aku bangun menunaikan sholat shubuh di masjid. Sepulang dari masjid, badanku kubawa ke ruang kerja. Pintunya terbuka. Aku lupa menutupnya tadi malam. Namun, Aku tak percaya apa yang Aku temui di sana.
“Ghulam!!! Apa yang kamu lakukan! Ini pekerjaan Abi kamu apakan?”
Ghulam yang masih memegang crayon warna merah dan hijau di tangan kanannya, segera lari meninggalkan ruangan.
Aku melihat gambar arsitekturnya. Berantakan. Banyak goresan tidak jelas di semua titik. Apa yang harus kulakukan? Siang ini Pak Rudi mau mengambilnya. Kemarahanku terpancing. Kucari Ghulam. Namun tak kunjung kutemukan. Aku menuju kamarnya. Tidak ada. Kulihat di bawah ranjang. Tidak ada pula. Di dalam lemari bajunya yang cukup besar terdengar suara. Kubuka. Ghulam meringkuk di sana. Kuseret badannya dan segera kupukul tubuh bagian belakang beberapa kali. Dia menangis keras. Akupun tak kuasa mendengar erangan sakit dari mulutnya. Aku mendekapnya segera. Ini bukan salahnya. Bukan salahnya. Bukan.
“Ghulam, mengapa kamu melakukan ini kepada Abi, Ghulam? Apa Ghulam ingin Abi dipecat? Mengapa Ghulam melakukan ini?”
Tangisku benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Mengiringi tangisan Ghulam yang masih keras. Apa yang akan kukatakan kepada Pak Rudi?
Waktu yang dinantikan datang juga. Bel rumah bernyanyi. Kudekati daun pintu utama.
“Assalamu’alaykum, Pak Tanto. Sekarang saya mau menjemput gambar karya Pak Tanto. Gimana? Sudah selesai kan?”
Pak Rudi begitu gembira. Senyum mengembang luas di bibirnya. Hatiku teriris. Sulit rasanya mengatakan hal ini. Namun, harus segera diucapkan.
“Wa’alaykumussalam, Pak Rudi. Silahkan masuk.”
“Saya langsung saja, Pak Tanto. Tidak usah repot-repot.” Senyum lebar itu masih menghiasi wajahnya. Pahit rasanya mengatakan ini semua.
“Pak Rudi, saya minta ma’af,” paras Pak Rudi mulai berubah, “gambar arsitektur yang sudah saya selesaikan tadi malam rusak.”
“Apa! Rusak! Lalu bagaimana dengan proyek kantor kita?!” paras Pak Rudi benar-benar sudah membalik 180 derajat dari semula.
“Iya, Pak. Ghulam mencoretinya.” Jujurku.
“Saya tidak mau tahu! Hari ini juga segera ke kantor menemui bos dan  siap-siaplah untuk menerima pemecatan! Pak Tanto sudah mencoreng nama baik kantor! Saya pamit pulang!.” Pak Rudi benar-benar marah.
Yaa Allah, ampuni hambaMu ini.
^ ^ ^
Sempoyongan badanku menuju pintu rumah. Bos marah besar. Surat pemecatan terdiam di dalam tas hitamku. Hari ini Allah benar-benar mengujiku. Kurebahkan badanku di kamar tidur. Belum sempat memejamkan mata, Aku mendengar suara pukul-pukulan yang cukup keras. Kucari sumber suara pukulan tersebut. Dari dapur. Ghulam!
“Ghulam! Ada apa, Nak! Ghulam!?” Aku sangat panik. Ghulam membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Terus menerus. Aku bingung.
“Ghulam, sadarlah Ghulam!”
Ghulam menangis dan tidak berhenti untuk mempertemukan kepalanya dengan dinding secara kasar. Bahkan dia menjerit-jerit histeris. Kulihat daerah sekitar. Ada bekas gigitan di buah apel merah yang tergeletak di meja dapur.
Segera kubawa Ghulam ke rumah sakit. Tangan dan kakiku turut bergetar. Aku menanti pemeriksaan dokter. Panik. Begitu pintu ruang pemeriksaan dibuka, Aku menghamburkan diri menemui dokter.”
“Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?”
“Apakah Bapak belum pernah menemui kejadian anak Bapak seperti ini sebelumnya?”
“Belum pernah, Dok. Saya jarang sekali di rumah. Istri saya yang merawat dia. Dan istri saya tidak pernah menyampaikan hal apapun kepada saya.” Terangku.
“Ma’af sebelumnya. Karena anak Bapak diuji dengan penyakit autis, dia harus melakukan diet. Tidak makan sembarangan. Sebelumnya Bapak menyampaikan kepada saya kalau Bapak menemukan buah apel di dekatnya. Nah, si penderita autis juga tidak boleh mengonsumsi sayur dan buah-buahan yang mudah berubah warna seperti pada apel dan belimbing. Selama ini dia mengonsumsi beras merah dan beras organik kan?”
“Iya, Dok. Kalau hal itu saya tahu.”
“Ya, bagus.”
“Anak bapak harus diet. Meninggalkan gula, susu, tepung dan sebagainya. Dia masih boleh mengonsumsi ikan dan daging. Jika pantangannya dilanggar maka yang akan terjadi adalah seperti apa yang terjadi pada anak Bapak sekarang ini. Gejala ini dinamakan Tantrum. Dia akan kehilangan kendali emosi. Membentur-benturkan kepalanya. Dan efek ini akan terjadi hingga dua pekan ke depan. Saran saya, biarkan dia di-opname di rumah sakit dulu.”
“Ya, Dokter. Saya mengikuti saran dokter.”
“Oke, Bapak bisa segera mengurus administrasinya ke bagian administrasi. Mari, Bapak.”
“Iya, Dokter. Terima kasih.”
^ ^ ^
“Duhai anakku, ma’afkan Abimu yang belum mampu merawatmu dengan baik seperti Umimu.”
Aku hanya terus bisa memandang buah hatiku penuh haru. Mengusap-usap rambut kepalanya. Tangan dan kakinya diikat di ranjang. Emosinya masih belum stabil.
Sudah sepekan Ghulam menginap di rumah sakit. Sepertinya Aku perlu kembali ke rumah untuk membawakan pakaian ganti dan segala keperluan yang diperlukan Ghulam.
Setiba di rumah, Aku menuju ke kamar Ghulam. Kuambil barang-barang yang perlu dibawa ke rumah sakit. Saat kuambil beberapa baju dari lemari Ghulam, sebuah buku diary bersampul coklat dengan tempelan bunga-bunga dari lilitan benang batang pisang jatuh dari sela-sela tumpukan baju. Buku diary istriku. Lembaran demi lembaran kubuka, kubaca. Dan Aku mulai tertegun membaca salah satu isi diary.
Semarang, 17 November 2009
Duhai suamiku, tahukah kau? Anak kita sudah mulai merajut pendidikan formal. Sekolah luar biasa. Ya, kita harus mensyukuri karunia dari Allah Swt meskipun banyak hinaan datang dari orang sekitar. Suamiku, tahukah kau? Terkadang aku lalai dalam menjaga buah hati kita. Ghulam memakan makanan pantangannya. Dia menjerit-jerit. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa aku lakukan hanya tilawah di hadapannya. Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan. Dan tahukah kau, suamiku? Dia langsung terdiam, menyimak bacaanku. Sejak saat itu, Aku merawat buah hati kita dengan al-Qur’an.
Duhai suamiku, tahukah kau? Di awal-awal sekolah anak kita, Ghulam langsung menunjukkan bakat yang luar biasa. Dia pandai menggambar. Di bulan Oktober kemarin, Ghulam berhasil memenangkan lomba gambar. Jika aku ingat, akan kuperlihatkan kepadamu karya Ghulam. Engkau pasti suka. Sementara aku simpan dulu ya…., kusimpan di laci lemari ini.

Yaa Allah, selama ini apa yang Aku lakukan? Tidak memberikan perhatian sepenuhnya kepada keluarga. Waktuku dengan keluarga hanya waktu sisa. Sisa setelah lama bekerja. Astaghfirullahal ‘adhiim…,
Tanganku beralih dari diary, menuju laci. Terlihat kertas putih di dalamnya. Campuran berbagai warna terlihat di balik kertas itu. Berbaur dengan indah. Kontras. Penuh warna. Kumeneteskan air mata begitu membaca tulisan I LOVE YOU, ABI yang berada di bawah gambar seorang laki-laki. Itu aku. ya aku. Di samping laki-laki itu ada seperangkat alat gambar rancang arsitektur. Rinduku pada Ghulam menyeruak. Ingin segera Aku menemuinya. Mengecup pipinya yang menggemaskan. Dalam keterbatasanmu, ada harta karun yang sangat berharga. Dan engkau hadir karena ketentuan ilahi. I love you too, Ghulam.



Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar