Di
depanku kini ada gundukan tanah berhias aneka bunga. Siluet senja menembus
dedaunan kamboja. Aminan do’a mengalun halus dari lisan-lisan tetangga yang
hadir dalam pemakaman istriku tercinta. Seorang wanita yang mendampingi hidupku
selama 10 tahun dengan kesabaran yang luar biasa. Kesetiaan yang ia tawarkan
kepadaku, membuat sebongkah ketidakrelaan hati berusaha menyusup perlahan kala
ia harus meninggalkanku selamanya di dunia ini. Pengorbanan yang ia lakukan
begitu besar. Ia menjaga harta dan buah hati semata wayang kami dengan kasih
sayang yang tulus. Yaa Allah, izinkan Aku untuk bertemu kembali dengannya di
akhirat.
Anakku,
Ghulam, hanya bisa melihat dengan pandangan terheran-heran ke arah tanah
berbunga itu dengan terus menggerak-gerakkan tangannya. Dan sesekali melihat orang-orang
di sekitarnya, di samping kanan dan kiri.
Satu
per satu, para tetangga meninggalkan lokasi. Hanya kaum kerabat dekat saja yang
menemaniku hingga Aku selesai menatap pusara istriku. Hingga matahari mulai
malu dan menyembunyikan diri, Aku dan Ghulam diajak kerabat menuju mobil kami.
Kami kembali ke rumah.
^ ^ ^
Di
hari ketiga sepeninggal istriku, Aku semakin merindukan kehadirannya. Selama
ini, seringkali kutinggal Ia bersama Ghulam di rumah guna penyelesaian proyek
di luar kota. Tak tega sebenarnya, namun inilah tuntutan kerja. Ghulam,
menderita autis yang baru kami berdua sadari sejak usianya menginjak 7 tahun.
Kini usia Ghulam 9 tahun.
“Ghulam,
ayo makan sini. Ada masakan kesukaanmu.” Ajakku pada Ghulam yang belum sarapan
pagi ini. Namun, tak ada jawaban. Dia asyik dengan crayon-crayonnya.
“Ghulam,
ayoooo sini. Beras merah kesukaanmu siap disantap. Kalau tidak mau makan, Abi
makan lho.” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Hingga enam kali Aku mengucapkan hal
serupa kepadanya. Dan hasilnya tetap nihil. Kuputuskan untuk meletakkan mangkuk
makanan di samping tubuhnya. Ternyata dengan cepat , Ghulam menyambar masakan
itu. Habis tak tersisa.
“Hhhhmm,
enaaak.” Komentar Ghulam. Akupun tersenyum. Tangannya terus bergerak-gerak.
Selesai menyuap makanannya yang terakhir, dia berlari-lari memutari meja di
ruang tamu. Namun ketika melihat kipas angin di sudut ruang, dia mendekat. Mengamati
putaran kipas angin. Terus dan terus. Sepertinya dia sedang memasuki sebuah
dunia di sana. Lama. Aku hanya mampu memandangnya. Entah apa yang sedang dia
pikirkan.
Ghulam
memang tidak begitu banyak bicara. Sebenarnya Aku belum begitu mengenalnya.
Karena istrikulah yang merawatnya selama ini. Istriku berpesan bahwa apapun
yang terjadi dengan Ghulam, jangan sampai dirawat oleh orang lain.
Beberapa
menit kemudian, gagang telepon ruang tengah memanggil-manggil, lumayan lama.
Aku bergegas menyambutnya.
“Halo,
Assalamu’alaykum. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Ya,
wa’alaykumussalam, Pak Tanto. Saya Rudi dari kantor.”
“Oiya,
Pak Rudi. Ada apa, Pak? Tumben telepon ke sini.”
“Saya
mau menyampaikan kalau gambar arsitektur gedung DPRD Kota Probolinggo harus
selesai satu minggu lagi. Bisa kan, Pak? Karena dari pihak pemesan sudah
membatasi hingga pekan depan.”
“Hhhm,
iya Pak. Insya Allah bisa.” Semoga saja Allah mengizinkanku untuk menyelesaikan
amanah ini tepat waktu.
“Oke,
Pak Tanto perlu tahu juga. Kalau proyek ini tidak selesai pada waktunya, maka kantor
kita akan di-black list. Pun, dengan
Pak Tanto. Pihak kantor bisa memecat Bapak kalau tidak mengerjakan tugas dengan
baik. Karena persaingan di luar sekarang sudah sangat ketat.”
“Iya,
Pak. Iya, saya usahakan. Mohon do’anya” jawabku.
“Ya.
pekan depan saya ke rumah Bapak untuk mengambil hasilnya. Wassalamu’alaykum,
Pak Tanto”
“Wa’alaykumussalam,
Pak Rudi.”
Begitu
kuletakkan gagang telepon, kedua mataku beralih kepada Ghulam. Dia masih sibuk
dengan crayon-crayonnya.
^ ^ ^
Malam
demi malam berlalu. Kutuntaskan pekerjaanku di ruang kerja. Aku hanya bisa
bekerja setelah Ghulam tertidur. Jadi, di waktu yang sangat singkat ini Aku
manfaatkan sebaik-baiknya. Akhirnya pesanan gambar arsitektur sudah selesai
dengan sempurna. Besok siang Pak Rudi bisa mengambilnya. Senyum banggaku
mengembang.
Biasanya
ketika Aku begadang menyelesaikan pekerjaanku, istriku setia menemaniku di
ruang kerja. Membawakan secangkir kopi herbal dan tak jarang memijati pundakku
kala Aku mulai kelelahan. Alhamdulillah, pekerjaan sudah selesai. Aku segera
bangkit menuju kamar tidur.
Esok
harinya, kala benang putih sudah muncul dalam kegelapan Aku bangun menunaikan
sholat shubuh di masjid. Sepulang dari masjid, badanku kubawa ke ruang kerja.
Pintunya terbuka. Aku lupa menutupnya tadi malam. Namun, Aku tak percaya apa
yang Aku temui di sana.
“Ghulam!!!
Apa yang kamu lakukan! Ini pekerjaan Abi kamu apakan?”
Ghulam
yang masih memegang crayon warna merah dan hijau di tangan kanannya, segera
lari meninggalkan ruangan.
Aku
melihat gambar arsitekturnya. Berantakan. Banyak goresan tidak jelas di semua
titik. Apa yang harus kulakukan? Siang ini Pak Rudi mau mengambilnya. Kemarahanku
terpancing. Kucari Ghulam. Namun tak kunjung kutemukan. Aku menuju kamarnya.
Tidak ada. Kulihat di bawah ranjang. Tidak ada pula. Di dalam lemari bajunya
yang cukup besar terdengar suara. Kubuka. Ghulam meringkuk di sana. Kuseret
badannya dan segera kupukul tubuh bagian belakang beberapa kali. Dia menangis
keras. Akupun tak kuasa mendengar erangan sakit dari mulutnya. Aku mendekapnya
segera. Ini bukan salahnya. Bukan salahnya. Bukan.
“Ghulam,
mengapa kamu melakukan ini kepada Abi, Ghulam? Apa Ghulam ingin Abi dipecat? Mengapa
Ghulam melakukan ini?”
Tangisku
benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Mengiringi tangisan Ghulam yang masih
keras. Apa yang akan kukatakan kepada Pak Rudi?
Waktu
yang dinantikan datang juga. Bel rumah bernyanyi. Kudekati daun pintu utama.
“Assalamu’alaykum,
Pak Tanto. Sekarang saya mau menjemput gambar karya Pak Tanto. Gimana? Sudah
selesai kan?”
Pak
Rudi begitu gembira. Senyum mengembang luas di bibirnya. Hatiku teriris. Sulit
rasanya mengatakan hal ini. Namun, harus segera diucapkan.
“Wa’alaykumussalam,
Pak Rudi. Silahkan masuk.”
“Saya
langsung saja, Pak Tanto. Tidak usah repot-repot.” Senyum lebar itu masih
menghiasi wajahnya. Pahit rasanya mengatakan ini semua.
“Pak
Rudi, saya minta ma’af,” paras Pak Rudi mulai berubah, “gambar arsitektur yang
sudah saya selesaikan tadi malam rusak.”
“Apa!
Rusak! Lalu bagaimana dengan proyek kantor kita?!” paras Pak Rudi benar-benar
sudah membalik 180 derajat dari semula.
“Iya,
Pak. Ghulam mencoretinya.” Jujurku.
“Saya
tidak mau tahu! Hari ini juga segera ke kantor menemui bos dan siap-siaplah untuk menerima pemecatan! Pak
Tanto sudah mencoreng nama baik kantor! Saya pamit pulang!.” Pak Rudi
benar-benar marah.
Yaa
Allah, ampuni hambaMu ini.
^ ^ ^
Sempoyongan
badanku menuju pintu rumah. Bos marah besar. Surat pemecatan terdiam di dalam
tas hitamku. Hari ini Allah benar-benar mengujiku. Kurebahkan badanku di kamar
tidur. Belum sempat memejamkan mata, Aku mendengar suara pukul-pukulan yang
cukup keras. Kucari sumber suara pukulan tersebut. Dari dapur. Ghulam!
“Ghulam!
Ada apa, Nak! Ghulam!?” Aku sangat panik. Ghulam membentur-benturkan kepalanya
ke tembok. Terus menerus. Aku bingung.
“Ghulam,
sadarlah Ghulam!”
Ghulam
menangis dan tidak berhenti untuk mempertemukan kepalanya dengan dinding secara
kasar. Bahkan dia menjerit-jerit histeris. Kulihat daerah sekitar. Ada bekas
gigitan di buah apel merah yang tergeletak di meja dapur.
Segera
kubawa Ghulam ke rumah sakit. Tangan dan kakiku turut bergetar. Aku menanti
pemeriksaan dokter. Panik. Begitu pintu ruang pemeriksaan dibuka, Aku
menghamburkan diri menemui dokter.”
“Apa
yang terjadi dengan anak saya, Dok?”
“Apakah
Bapak belum pernah menemui kejadian anak Bapak seperti ini sebelumnya?”
“Belum
pernah, Dok. Saya jarang sekali di rumah. Istri saya yang merawat dia. Dan
istri saya tidak pernah menyampaikan hal apapun kepada saya.” Terangku.
“Ma’af
sebelumnya. Karena anak Bapak diuji dengan penyakit autis, dia harus melakukan
diet. Tidak makan sembarangan. Sebelumnya Bapak menyampaikan kepada saya kalau
Bapak menemukan buah apel di dekatnya. Nah, si penderita autis juga tidak boleh
mengonsumsi sayur dan buah-buahan yang mudah berubah warna seperti pada apel
dan belimbing. Selama ini dia mengonsumsi beras merah dan beras organik kan?”
“Iya,
Dok. Kalau hal itu saya tahu.”
“Ya,
bagus.”
“Anak
bapak harus diet. Meninggalkan gula, susu, tepung dan sebagainya. Dia masih
boleh mengonsumsi ikan dan daging. Jika pantangannya dilanggar maka yang akan
terjadi adalah seperti apa yang terjadi pada anak Bapak sekarang ini. Gejala
ini dinamakan Tantrum. Dia akan kehilangan kendali emosi. Membentur-benturkan
kepalanya. Dan efek ini akan terjadi hingga dua pekan ke depan. Saran saya,
biarkan dia di-opname di rumah sakit
dulu.”
“Ya,
Dokter. Saya mengikuti saran dokter.”
“Oke,
Bapak bisa segera mengurus administrasinya ke bagian administrasi. Mari,
Bapak.”
“Iya,
Dokter. Terima kasih.”
^ ^ ^
“Duhai
anakku, ma’afkan Abimu yang belum mampu merawatmu dengan baik seperti Umimu.”
Aku
hanya terus bisa memandang buah hatiku penuh haru. Mengusap-usap rambut
kepalanya. Tangan dan kakinya diikat di ranjang. Emosinya masih belum stabil.
Sudah
sepekan Ghulam menginap di rumah sakit. Sepertinya Aku perlu kembali ke rumah
untuk membawakan pakaian ganti dan segala keperluan yang diperlukan Ghulam.
Setiba
di rumah, Aku menuju ke kamar Ghulam. Kuambil barang-barang yang perlu dibawa
ke rumah sakit. Saat kuambil beberapa baju dari lemari Ghulam, sebuah buku
diary bersampul coklat dengan tempelan bunga-bunga dari lilitan benang batang
pisang jatuh dari sela-sela tumpukan baju. Buku diary istriku. Lembaran demi
lembaran kubuka, kubaca. Dan Aku mulai tertegun membaca salah satu isi diary.
Semarang, 17 November 2009
Duhai
suamiku, tahukah kau? Anak kita sudah mulai merajut pendidikan formal. Sekolah
luar biasa. Ya, kita harus mensyukuri karunia dari Allah Swt meskipun banyak
hinaan datang dari orang sekitar. Suamiku, tahukah kau? Terkadang aku lalai
dalam menjaga buah hati kita. Ghulam memakan makanan pantangannya. Dia
menjerit-jerit. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa aku lakukan hanya
tilawah di hadapannya. Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan. Dan tahukah
kau, suamiku? Dia langsung terdiam, menyimak bacaanku. Sejak saat itu, Aku
merawat buah hati kita dengan al-Qur’an.
Duhai
suamiku, tahukah kau? Di awal-awal sekolah anak kita, Ghulam langsung
menunjukkan bakat yang luar biasa. Dia pandai menggambar. Di bulan Oktober
kemarin, Ghulam berhasil memenangkan lomba gambar. Jika aku ingat, akan
kuperlihatkan kepadamu karya Ghulam. Engkau pasti suka. Sementara aku simpan
dulu ya…., kusimpan di laci lemari ini.
Yaa Allah, selama ini apa
yang Aku lakukan? Tidak memberikan perhatian sepenuhnya kepada keluarga.
Waktuku dengan keluarga hanya waktu sisa. Sisa setelah lama bekerja. Astaghfirullahal ‘adhiim…,
Tanganku beralih dari diary,
menuju laci. Terlihat kertas putih di dalamnya. Campuran berbagai warna
terlihat di balik kertas itu. Berbaur dengan indah. Kontras. Penuh warna.
Kumeneteskan air mata begitu membaca tulisan I LOVE YOU, ABI yang berada di bawah gambar seorang laki-laki. Itu
aku. ya aku. Di samping laki-laki itu ada seperangkat alat gambar rancang
arsitektur. Rinduku pada Ghulam menyeruak. Ingin segera Aku menemuinya.
Mengecup pipinya yang menggemaskan. Dalam keterbatasanmu, ada harta karun yang
sangat berharga. Dan engkau hadir karena ketentuan ilahi. I love you too, Ghulam.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar