Sinar
mentari mengintip di balik tirai jendela kamar kosku. Saraf penerima rangsang
segera menghantarkan pesannya ke otak hingga Aku tersadar dari tidurku yang
sebentar akibat begadang semalaman. Tugas-tugas kuliah menumpuk setiap hari.
Menyisakan kertas-kertas yang berserakan di seluruh penjuru kamar berdinding
merah muda ini.
Seperti
kebanyakan mahasiswa lainnya, Akupun mengalokasikan waktu sebanyak-banyaknya
untuk berkutat dengan diktat-diktat perkuliahan. Tuntutan wajib Ayahku di
setiap akhir pekan senantiasa terngiang jelas di telinga ini, “IPKmu harus
terpuji.”
Waktu
terus bergulir. Kini, masa-masa semester lima harus aku nikmati walaupun rasanya
lebih pahit dari obat jenis apapun. Ritual perkuliahan ini membuatku jenuh,
memunculkan sebuah hasrat untuk terlepas dari belenggu dan berlari dari sel
penjara yang membosankan.
Dengan
malas, kuraih Blackberry di meja
samping ranjang. Pukul 05.50. Setidaknya masih ada waktu 30 menit bagiku untuk
persiapan sebelum berangkat kuliah. Sudah lama kutinggalkan sholat Shubuh
karena kupikir akan menyita waktu istirahatku. Begitupun waktu sholat yang
lain. Bukan hal yang penting.
Dahulu,
semasa Bunda masih hidup seringkali meneleponku untuk bangun dan menunaikan
sholat Shubuh. Mengalah kepada beliau dan berjalan menuju sumber air wudhu
dengan menjatuhkan tengkuk ke depan. Kini, tidak ada lagi yang meneleponku di
kala Shubuh. Ayah terlalu sibuk dengan urusannya. Teman-teman kos sama saja.
Bangun siang.
“Siiiaaaaang,
Debbie. Sudah bangun? Tumben agak pagian nih.” Tanya Sheli, teman sekosku.
“Yupp,
jadwal mata kuliah hari Selasa. Wajib datang sebelum pukul 07.00” jawabku.
“Ohh,
ya ya ya. Jadwalnya Pak Kardi ya? Selamat menikmati nuansa indah dunia pengadilan
di kelas ya. Hehe…”
***
Hilir
mudik pelanggan di Cafetaria Mipa Universitas Abdisetya. Teriakan pelanggan
dari titik ke titik menggemuruhkan ruangan. Pelayan tengah sibuk memenuhi
seruan manusia-manusia kelaparan. Sedangkan Aku, masih bercengkerama erat
dengan laptop dan jus wortel di hadapanku. Lekat.
Kala
kulemparkan pandanganku ke arah salah satu sudut ruangan, kulihat sosok
mahasiswa yang sejak semester satu Aku kagumi. Pemuda yang ganteng, cerdas dan
kaya. Dari kejauhan Aku pandangi ia, hingga mataku bertemu dengan matanya dan
ia menganggukkan kepala. Haduh, Aku jadi salah tingkah. Segera kulemparkan
pandanganku ke arah kanan. Kemudian Aku temukan secarik kertas A3 tertempel di
papan informasi kantin bertuliskan judul besar BAKTI SOSIAL PEDULI UMAT.
Penasaran. Aku dekati pamflet tersebut. Oh, acara yang diselenggarakan Rohis
fakultas Mipa. Menerima berbagai perlengkapan ibadah yang layak pakai untuk
disumbangkan ke umat muslim yang membutuhkan. Hhmm, sepertinya di kosku banyak.
Aku sudah tidak mempergunakannya lagi. Lebih baik Aku sumbangkan saja, daripada tidak
terpakai.
“Deb,
kamu lagi ngapain?” suara Najwa
membuyarkan alam pikiranku. Najwa, mahasiswi sekelasku yang super sibuk.
Organisatoris yang tidak pernah memperoleh nilai di bawah 80.
“Ya,
Naj. Emm, Aku lagi baca pamflet ini.”
“Kamu
berminat? Kalau mau menyumbang nanti lewat Aku bisa kok. Kalau Debbie tidak
punya kesempatan untuk menyalurkannya secara langsung, sms Aku saja. Debbie
cukup menyiapkan barang-barangnya, nanti Najwa ambil di kos Debbie.” Terang
Najwa bersemangat. Seperti biasanya.
“Oh,
ya. Terima kasih. Kalau jadi, nanti Aku sms kamu.”
“Oke,
Aku tunggu ya. Aku duluan ya, Deb. Mau ke mushola tercinta, sholat dhuha. Mau
ikut? Bareng yuk.”
“Ha?
Ehmm, eehm, ikut ngga ya? kamu duluan saja. Saya masih ada urusan lain.”
“Ya
sudah. Lain kali kalau Aku ajak lagi, mau ya? Musholanya kangen sama kamu lho.
Hehe. Assalamu’alaykum.”
Kubalas
pertanyaan Najwa dengan senyum canggung. Aku tidak bisa berjanji. Aku tidak
tahu kapan Aku bisa memulai kembali untuk mendirikan sholat. Aku sudah lupa
bacan sholat. Aku sudah begitu jauh dengan agama. Hidupku kini hanya sebagai
robot pengemban tugas Ayah. Kuliah. IPK tinggi.
***
“Debbie,
tadi siang Joe ngomong ke Aku. Katanya nanti malam dia mau mengajak kamu ke
pusat kota.” Terang Sheli kala kumerebahkan badan di kamar akibat kelelahan
mengikuti perkuliahan hari ini. Sontak Aku kaget dan segera bangkit dari posisi
semula.
“Appaaa!
Beneran!?? Tadi siang baru saja Aku ketemu sama dia!” Aku kegirangan.
“Iya,
siap-siap sana. Jam 18.30 dia menemui kamu.”
“Masa
iya? Ini bukan mimpi kan? Sheli, bantuin Aku untuk persiapan dong.”
“Siiip!
Jangan lupa pakai bandana merah mudamu ya! hehe”
Hatiku
berbunga-bunga. Orang yang selama ini Aku kagumi, akhirnya mengajakku untuk
jalan-jalan. Aku harus mempersiapkan diri secantik mungkin malam ini. Dan,
sepertinya Aku tidak perlu menyampaikan hal ini kepada Ayah. Aku tidak mau kena
marah.
Kubuka
lemari baju. Berbagai model, corak dan motif baju berjajar dengan rapi.
Kupilih-pilih baju yang cocok untuk nanti malam. Yup, ketemu. Blackberryku bordering. Sebuah nomor
asing tertera di sana. Apa mungkin Joe?
“Halo.”
Aku penasaran.
“Ya,
halo. Assalamu’alaykum. Debbie, ini Najwa. Sore ini Najwa mau berkeliling kos
mengambil barang-barang bakti sosial. Apa Debbie punya barang-barang yang mau
disumbangkan?”
“Oh,
Najwa. Aku kira siapa. Hhmm, Aku belum mengecek kembali. Ya nanti Aku siapkan
dulu. Kamu capek ngga? Kalau capek berkeliling, nanti Aku kirim ke kosmu saja gimana?”
“Ngga
perlu, biar Aku saja yang mengambil, Deb.” Tolak najwa
“Gini,
nanti malam Aku mau pergi. Sekalian mampir ke kosmu. Perjalanannya lewat depan
kosmu, kok. Masih di gang harmoni kan? Daripada kamu bolak-balik, Naj.”
“Oh
gitu, ya sudah nanti malam kutunggu ya. Terima kasih. Assalamu’alaykum”
“Ya,
wa’alaykumussalam.” Kuputus telepon, dan kemenghela napas. Bukan telepon dari
Joe.
Segera
Aku cari barang-barang yang bisa disumbangkan. Sebuah mukena berwarna merah
muda tersimpan di lemari, tumpukan pakaian bagian paling bawah, entah kapan
terakhir kali Aku mengenakannya untuk sholat. Kumasukkan mukena itu ke dalam
plastik hitam.
Di
rak-rak buku, Aku melihat sebuah kitab al-Qur’an pemberian Bundaku sebelum Aku
berangkat ke Jakarta untuk kuliah perdana. Apakah akan Aku sumbangkan pula?
Sepertinya lebih baik kusumbangkan, akan lebih bermanfaat di tangan orang lain.
Karena jika terus berada di rakku, hanya akan menjadi pajangan yang usang. Aku
juga sudah lama tidak membukanya. Terakhir kali membaca, saat semester satu di
agenda mentoring pertemuan terakhir. Dengan bacaan super terbata-bata dan
dituntun dengan sabar oleh mentor. Aku lupa siapa nama mentornya. Ya, di
pertemuan akhir mentoring, karena setelah itu tidak ada sangkut pautnya dengan
nilai mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam jadi Aku memutuskan untuk tidak
mengikuti mentoring lagi. Berbeda dengan Najwa, teman sekelompok mentoringku
juga. Kini, dia sudah menjadi mentor.
***
Apakah
malam ini mimpi? Berduaan dengan Joe, cowok yang banyak ditaksir oleh
cewek-cewek kampus. Yang katanya baik hati dan belum pernah jalan dengan cewek
jurusan manapun di Universitas Abdisetya. Aku ditraktir es krim di pasar malam
pusat kota. Sebelumnya Aku juga belum pernah keluar malam ke pusat kota.
Kerjaanku hanya begadang di dalam kamar kos untuk menyelesaikan tugas-tugas
kuliah.
Di
antara rasa senang yang menyebar di penjuru hati, sebenarnya dalam satu sudut
hati mengatakan kegamangannya. Menyuarakan ketidaknyamanannya. Seolah-olah yang
sedang bergurauan dengan Joe ini adalah bukan diriku. Tapi makhluk lain yang
sedang merindukan kasih sayang dari orang lain.
“Debbie,
ini sudah jam sebelas malam. Mau balik ke kos atau mampir ke rumahku?” Tanya
Joe.
“Ke
rumahmu? Ngga lah, langsung balik ke kos saja.” Jawabku.
“Tapi
ini sudah malam, apa kamu ngga takut kalau mengganggu teman-temanmu yang sudah
pada istirahat dan malu dilihat tetangga kos lainnya?”
“Kalau
Aku ke rumahmu sama saja kan?”
“Tidak,
Debbie. Rumahku jarang penduduk, jadi tidak apa jika pulang malam.”
“Keluargamu?”
“Tenang,
nanti disediakan kamar sendiri kok. Kami biasa menerima tamu. Tidak apa-apa.
Apalagi dengan teman sendiri.”
Aku
bingung mau memutuskan seperti apa. Namun, akhirnya kumengikuti permintaan Joe.
***
“Rumahmu
luas sekali. Ke mana keluargamu yang lain, Joe?”
“Mereka
mungkin sudah tidur.” Jawab Joe dengan tenang.
Aku
dipersilakan memasuki salah satu kamar rumah untuk beristirahat di sana. Joe
pergi menuju tempat lain. Aku ingin segera tidur, namun terhenyak ketika
kuingat barang sumbanganku masih di dalam tas dan belum kuserahkan ke Najwa.
Najwa pasti marah besar karena lama menungguku. Segera kuraih tasku. kubuka
plastik hitam berisi mukena merah muda dan al-Qur’an. Entah mengapa hatiku
bergetar melihat al-Qur’an pemberian Bunda. Kubuka lembaran demi lembaran.
Memoriku terpanggil memunculkan bayangan Bunda dalam kenanganku di masa silam.
Yang menuntunku kala terjatuh. Yang mengusap air mata yang menetes di kedua
pipiku. Yang mengajarkanku huruf hijaiyah. Yang menasihatiku,
Ketika
kau di perguruan tinggi, jagalah dirimu baik-baik. Ketika Bunda tidak lagi di
sisi. Jagalah kehormatanmu dengan sekuat tenaga. Jangan biarkan laki-laki yang
tidak beradab, mendekatimu sedikitpun. Walau ia begitu memesonakan hatimu.
Bawalah tanda cinta dari Bunda berupa al-Qur’an ini, jadikanlah ia pedoman hidup
bagimu di manapun kau berada, sayang. Pupuklah cinta di dalam hatimu dengan
keikhlasan dalam beribadah kepadaNya. Debbie, Bunda sangat mencintaimu.
Buliran air mata menetes satu
demi satu dari kedua ujung mataku. Apa yang telah Aku lakukan selama ini? Bunda
begitu menyanyangiku, mengapa Aku melupakan segala yang menjadi nasihatnya. Dan
kini, Aku mengkhianati segala amanah darinya. Bahkan, Aku telah mendustai
segala perintah dari Sang Pencipta. Betapa hina dan kotornya diriku.
Bunda,ma’afkan aku. Aku tidak mau di tempat ini. Aku mau pulang. Aku tidak mau
berada di rumah ini. Aku harus pulang. Malam ini juga.
Cklek, cklek, cklek cklek.
Kenapa? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Kenapa? Aku menggedor-gedor pintu.
Memanggil Joe supaya membukakan pintu. Kugedor pintu makin keras hingga
akhirnya terdengar derap langkah kaki menuju pintu. Aku agak menjauh. Akhirnya
pintu dibuka. Tapi, yang ada di balik pintu adalah tubuh yang berbau alkohol.
Dengan mata merah menyala. Mata seperti binatang buas yang siap menerkam
mangsanya. Dan dengan membabi buta hendak meraih tubuhku.
Aku sangat takut. Aku ambil
barang-barang di dekatku. Sekenaku. Kulempar ke arah Joe yang tengah mabuk. Joe
makin ganas. Aku berteriak. Menjerit. Meminta tolong. Aku tersandung kaki meja.
Terjatuh. Ya Tuhan, ampuni aku. Jika selama ini Aku mendustakanMu. Jauh dari
diriMu. Tuhan, Aku ingin menjaga amanah Bundaku. Kan kupertahankan kehormatanku
semampuku.
Aku berusaha bangun dan
mengangkat kursi besi di dekatku dan memukulkannya ke bahu Joe. Dia tersungkur
jatuh. Namun, segera bangkit. Aku sangat gemetaran. Nafasku tersengal-sengal.
Ya Tuhan, bantu hambaMu ini. Ampuni Aku. Sungguh, Aku tidak ingin mati sia-sia.
Tenagaku sudah tidak cukup untuk melawan Joe. Lemas. Tulang-tulangku seperti
terlepas dari tubuhku. Tidak bisa tegak kembali. Aku menjerit makin keras. Hingga
akhirnya terdengar suara dentuman yang keras dan tubuh Joe menimpaku. Tapi, dia
sudah tidak bergerak. Diam. Suasana hening. Aku mendengar ada isakan tangis
wanita tua. Kusingkirkan tubuh Joe dariku. Kulihat histeris wanita tersebut
yang segera merengkuh tubuhku dan memeluk dengan erat.
“Sebelum dia terbangun,
segera lari dari sini, Nak. Pakai motor di depan. Ini bawa kuncinya.”
“Ibu siapa?”
“Saya Ibunya Joe. Ibu sudah
tidak kuat dengan tingkahnya yang sering membawa wanita ke rumah. Ibu belum
mampu melawannya selama ini. Dan wanita-wanita yang diajak ke rumah juga dengan
rela dijamah anakku. Ibu hanya bisa menangis. Jeritanmu membangunkan tidur Ibu.
Ayo, Nak. Segera pergi dari sini sebelum dia terbangun. Tapi tolong, rahasiakan
peristiwa malam ini.”
Aku segera menerima kunci
motor dari Ibu Joe. Mengambil tas. Dan mencium tangan Ibu Joe. Hingga di daun
pintu, kubalikkan badanku. Ibu Joe masih terisak-isak di hadapan tubuh Joe yang
masih pingsan.
***
Hujan mengguyur. Kuterjang
air yang jatuh dengan rapat dari langit. Berbaur dengan air mataku di wajah. Kelenjar
air mata ini sudah tidak mampu dibendung. Meluapkan rasa bersalahku. Kumpulan
dosa-dosa yang menumpuk. Apakah akan terampuni?
Kendali motor kubiarkan
melaju pesat. Ingin segera Aku kembali ke kos. Tapi, Aku butuh orang lain untuk
kujadikan sebagai sandaran. Aku harus mencari orang yang bisa kupercaya.
Pikiranku tertuju pada satu nama, Najwa. Ya, Aku harus menemuinya.
Tok tok tok. Tok tok tok.
“Najwa, bukakan pintu
untukku. Najwa, tolong Aku. Tolong Aku. hiks hiks. Apa kau masih tidur, Naj?
Bukakan pintu untukku.”
Kulihat jam tangan. Pukul
02.55.
Aku duduk tersungkur di
sebelah pintu. Tanpa tersadar, Aku pun tertidur. Tak lama kemudian, ada tangan
lembut yang mengusap kepala dan tanganku. Aku terbangun. Di depanku sudah ada
seseorang yang sangat asing bagiku. Dia mengajakku memasuki kos. Akupun
memenuhi ajakannya.
Semenit kemudian, Najwa
muncul dari balik tirai bermotif bunga-bunga. Dia mendekatiku dan segera
memelukku erat.
“Ada apa, Deb?”
Aku balas pelukannya seerat
mungkin. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku. Tangisanku kembali meledak.
Jemari Najwa menyeka tangisku.
“Tegarlah, Debbie. Mari ke
kamarku. Ceritakan semua yang ingin kau ceritakan. Alangkah baiknya, kita
mendirikan qiyamul lail terlebih
dahulu.”
Hatiku makin pilu, “Aku
sudah lupa bacaan sholat.”
Najwa terlihat kaget,
kemudian tersungging sebuah senyuman yang tulus di bibirnya.
“Mari Aku ajari.”
Kubalas senyumannya. Belum
pernah Aku merasa sebahagia ini seperti kala bersama Bundaku tercinta.
Paginya, Aku menemukan
jiwaku yang sebenarnya. Bunda, Aku sangat mencintaimu. Bunda, terima kasih atas
nasihat-nasihatmu. Allah, terimalah taubatku.
Sekian.