Rabu, 31 Desember 2014

Sepenggal Ayat Cinta dari Ibunda

Sinar mentari mengintip di balik tirai jendela kamar kosku. Saraf penerima rangsang segera menghantarkan pesannya ke otak hingga Aku tersadar dari tidurku yang sebentar akibat begadang semalaman. Tugas-tugas kuliah menumpuk setiap hari. Menyisakan kertas-kertas yang berserakan di seluruh penjuru kamar berdinding merah muda ini.
Seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, Akupun mengalokasikan waktu sebanyak-banyaknya untuk berkutat dengan diktat-diktat perkuliahan. Tuntutan wajib Ayahku di setiap akhir pekan senantiasa terngiang jelas di telinga ini, “IPKmu harus terpuji.”
Waktu terus bergulir. Kini, masa-masa semester lima harus aku nikmati walaupun rasanya lebih pahit dari obat jenis apapun. Ritual perkuliahan ini membuatku jenuh, memunculkan sebuah hasrat untuk terlepas dari belenggu dan berlari dari sel penjara yang membosankan.
Dengan malas, kuraih Blackberry di meja samping ranjang. Pukul 05.50. Setidaknya masih ada waktu 30 menit bagiku untuk persiapan sebelum berangkat kuliah. Sudah lama kutinggalkan sholat Shubuh karena kupikir akan menyita waktu istirahatku. Begitupun waktu sholat yang lain. Bukan hal yang penting.
Dahulu, semasa Bunda masih hidup seringkali meneleponku untuk bangun dan menunaikan sholat Shubuh. Mengalah kepada beliau dan berjalan menuju sumber air wudhu dengan menjatuhkan tengkuk ke depan. Kini, tidak ada lagi yang meneleponku di kala Shubuh. Ayah terlalu sibuk dengan urusannya. Teman-teman kos sama saja. Bangun siang.
“Siiiaaaaang, Debbie. Sudah bangun? Tumben agak pagian nih.” Tanya Sheli, teman sekosku.
“Yupp, jadwal mata kuliah hari Selasa. Wajib datang sebelum pukul 07.00” jawabku.
“Ohh, ya ya ya. Jadwalnya Pak Kardi ya? Selamat menikmati nuansa indah dunia pengadilan di kelas ya. Hehe…”
***
Hilir mudik pelanggan di Cafetaria Mipa Universitas Abdisetya. Teriakan pelanggan dari titik ke titik menggemuruhkan ruangan. Pelayan tengah sibuk memenuhi seruan manusia-manusia kelaparan. Sedangkan Aku, masih bercengkerama erat dengan laptop dan jus wortel di hadapanku. Lekat.
Kala kulemparkan pandanganku ke arah salah satu sudut ruangan, kulihat sosok mahasiswa yang sejak semester satu Aku kagumi. Pemuda yang ganteng, cerdas dan kaya. Dari kejauhan Aku pandangi ia, hingga mataku bertemu dengan matanya dan ia menganggukkan kepala. Haduh, Aku jadi salah tingkah. Segera kulemparkan pandanganku ke arah kanan. Kemudian Aku temukan secarik kertas A3 tertempel di papan informasi kantin bertuliskan judul besar BAKTI SOSIAL PEDULI UMAT. Penasaran. Aku dekati pamflet tersebut. Oh, acara yang diselenggarakan Rohis fakultas Mipa. Menerima berbagai perlengkapan ibadah yang layak pakai untuk disumbangkan ke umat muslim yang membutuhkan. Hhmm, sepertinya di kosku banyak. Aku sudah tidak mempergunakannya lagi.  Lebih baik Aku sumbangkan saja, daripada tidak terpakai.
“Deb, kamu lagi ngapain?” suara Najwa membuyarkan alam pikiranku. Najwa, mahasiswi sekelasku yang super sibuk. Organisatoris yang tidak pernah memperoleh nilai di bawah 80.
“Ya, Naj. Emm, Aku lagi baca pamflet ini.”
“Kamu berminat? Kalau mau menyumbang nanti lewat Aku bisa kok. Kalau Debbie tidak punya kesempatan untuk menyalurkannya secara langsung, sms Aku saja. Debbie cukup menyiapkan barang-barangnya, nanti Najwa ambil di kos Debbie.” Terang Najwa bersemangat. Seperti biasanya.
“Oh, ya. Terima kasih. Kalau jadi, nanti Aku sms kamu.”
“Oke, Aku tunggu ya. Aku duluan ya, Deb. Mau ke mushola tercinta, sholat dhuha. Mau ikut? Bareng yuk.”
“Ha? Ehmm, eehm, ikut ngga ya? kamu duluan saja. Saya masih ada urusan lain.”
“Ya sudah. Lain kali kalau Aku ajak lagi, mau ya? Musholanya kangen sama kamu lho. Hehe. Assalamu’alaykum.”
Kubalas pertanyaan Najwa dengan senyum canggung. Aku tidak bisa berjanji. Aku tidak tahu kapan Aku bisa memulai kembali untuk mendirikan sholat. Aku sudah lupa bacan sholat. Aku sudah begitu jauh dengan agama. Hidupku kini hanya sebagai robot pengemban tugas Ayah. Kuliah. IPK tinggi.
***
“Debbie, tadi siang Joe ngomong ke Aku. Katanya nanti malam dia mau mengajak kamu ke pusat kota.” Terang Sheli kala kumerebahkan badan di kamar akibat kelelahan mengikuti perkuliahan hari ini. Sontak Aku kaget dan segera bangkit dari posisi semula.
“Appaaa! Beneran!?? Tadi siang baru saja Aku ketemu sama dia!” Aku kegirangan.
“Iya, siap-siap sana. Jam 18.30 dia menemui kamu.”
“Masa iya? Ini bukan mimpi kan? Sheli, bantuin Aku untuk persiapan dong.”
“Siiip! Jangan lupa pakai bandana merah mudamu ya! hehe”
Hatiku berbunga-bunga. Orang yang selama ini Aku kagumi, akhirnya mengajakku untuk jalan-jalan. Aku harus mempersiapkan diri secantik mungkin malam ini. Dan, sepertinya Aku tidak perlu menyampaikan hal ini kepada Ayah. Aku tidak mau kena marah.
Kubuka lemari baju. Berbagai model, corak dan motif baju berjajar dengan rapi. Kupilih-pilih baju yang cocok untuk nanti malam. Yup, ketemu. Blackberryku bordering. Sebuah nomor asing tertera di sana. Apa mungkin Joe?
“Halo.” Aku penasaran.
“Ya, halo. Assalamu’alaykum. Debbie, ini Najwa. Sore ini Najwa mau berkeliling kos mengambil barang-barang bakti sosial. Apa Debbie punya barang-barang yang mau disumbangkan?”
“Oh, Najwa. Aku kira siapa. Hhmm, Aku belum mengecek kembali. Ya nanti Aku siapkan dulu. Kamu capek ngga? Kalau capek berkeliling, nanti Aku kirim ke kosmu saja gimana?”
“Ngga perlu, biar Aku saja yang mengambil, Deb.” Tolak najwa
“Gini, nanti malam Aku mau pergi. Sekalian mampir ke kosmu. Perjalanannya lewat depan kosmu, kok. Masih di gang harmoni kan? Daripada kamu bolak-balik, Naj.”
“Oh gitu, ya sudah nanti malam kutunggu ya. Terima kasih. Assalamu’alaykum”
“Ya, wa’alaykumussalam.” Kuputus telepon, dan kemenghela napas. Bukan telepon dari Joe.
Segera Aku cari barang-barang yang bisa disumbangkan. Sebuah mukena berwarna merah muda tersimpan di lemari, tumpukan pakaian bagian paling bawah, entah kapan terakhir kali Aku mengenakannya untuk sholat. Kumasukkan mukena itu ke dalam plastik hitam.
Di rak-rak buku, Aku melihat sebuah kitab al-Qur’an pemberian Bundaku sebelum Aku berangkat ke Jakarta untuk kuliah perdana. Apakah akan Aku sumbangkan pula? Sepertinya lebih baik kusumbangkan, akan lebih bermanfaat di tangan orang lain. Karena jika terus berada di rakku, hanya akan menjadi pajangan yang usang. Aku juga sudah lama tidak membukanya. Terakhir kali membaca, saat semester satu di agenda mentoring pertemuan terakhir. Dengan bacaan super terbata-bata dan dituntun dengan sabar oleh mentor. Aku lupa siapa nama mentornya. Ya, di pertemuan akhir mentoring, karena setelah itu tidak ada sangkut pautnya dengan nilai mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam jadi Aku memutuskan untuk tidak mengikuti mentoring lagi. Berbeda dengan Najwa, teman sekelompok mentoringku juga. Kini, dia sudah menjadi mentor.
***
Apakah malam ini mimpi? Berduaan dengan Joe, cowok yang banyak ditaksir oleh cewek-cewek kampus. Yang katanya baik hati dan belum pernah jalan dengan cewek jurusan manapun di Universitas Abdisetya. Aku ditraktir es krim di pasar malam pusat kota. Sebelumnya Aku juga belum pernah keluar malam ke pusat kota. Kerjaanku hanya begadang di dalam kamar kos untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah.
Di antara rasa senang yang menyebar di penjuru hati, sebenarnya dalam satu sudut hati mengatakan kegamangannya. Menyuarakan ketidaknyamanannya. Seolah-olah yang sedang bergurauan dengan Joe ini adalah bukan diriku. Tapi makhluk lain yang sedang merindukan kasih sayang dari orang lain.
“Debbie, ini sudah jam sebelas malam. Mau balik ke kos atau mampir ke rumahku?” Tanya Joe.
“Ke rumahmu? Ngga lah, langsung balik ke kos saja.” Jawabku.
“Tapi ini sudah malam, apa kamu ngga takut kalau mengganggu teman-temanmu yang sudah pada istirahat dan malu dilihat tetangga kos lainnya?”
“Kalau Aku ke rumahmu sama saja kan?”
“Tidak, Debbie. Rumahku jarang penduduk, jadi tidak apa jika pulang malam.”
“Keluargamu?”
“Tenang, nanti disediakan kamar sendiri kok. Kami biasa menerima tamu. Tidak apa-apa. Apalagi dengan teman sendiri.”
Aku bingung mau memutuskan seperti apa. Namun, akhirnya kumengikuti permintaan Joe.
***
“Rumahmu luas sekali. Ke mana keluargamu yang lain, Joe?”
“Mereka mungkin sudah tidur.” Jawab Joe dengan tenang.
Aku dipersilakan memasuki salah satu kamar rumah untuk beristirahat di sana. Joe pergi menuju tempat lain. Aku ingin segera tidur, namun terhenyak ketika kuingat barang sumbanganku masih di dalam tas dan belum kuserahkan ke Najwa. Najwa pasti marah besar karena lama menungguku. Segera kuraih tasku. kubuka plastik hitam berisi mukena merah muda dan al-Qur’an. Entah mengapa hatiku bergetar melihat al-Qur’an pemberian Bunda. Kubuka lembaran demi lembaran. Memoriku terpanggil memunculkan bayangan Bunda dalam kenanganku di masa silam. Yang menuntunku kala terjatuh. Yang mengusap air mata yang menetes di kedua pipiku. Yang mengajarkanku huruf hijaiyah. Yang menasihatiku,
Ketika kau di perguruan tinggi, jagalah dirimu baik-baik. Ketika Bunda tidak lagi di sisi. Jagalah kehormatanmu dengan sekuat tenaga. Jangan biarkan laki-laki yang tidak beradab, mendekatimu sedikitpun. Walau ia begitu memesonakan hatimu. Bawalah tanda cinta dari Bunda berupa al-Qur’an ini, jadikanlah ia pedoman hidup bagimu di manapun kau berada, sayang. Pupuklah cinta di dalam hatimu dengan keikhlasan dalam beribadah kepadaNya. Debbie, Bunda sangat mencintaimu.
Buliran air mata menetes satu demi satu dari kedua ujung mataku. Apa yang telah Aku lakukan selama ini? Bunda begitu menyanyangiku, mengapa Aku melupakan segala yang menjadi nasihatnya. Dan kini, Aku mengkhianati segala amanah darinya. Bahkan, Aku telah mendustai segala perintah dari Sang Pencipta. Betapa hina dan kotornya diriku. Bunda,ma’afkan aku. Aku tidak mau di tempat ini. Aku mau pulang. Aku tidak mau berada di rumah ini. Aku harus pulang. Malam ini juga.
Cklek, cklek, cklek cklek. Kenapa? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Kenapa? Aku menggedor-gedor pintu. Memanggil Joe supaya membukakan pintu. Kugedor pintu makin keras hingga akhirnya terdengar derap langkah kaki menuju pintu. Aku agak menjauh. Akhirnya pintu dibuka. Tapi, yang ada di balik pintu adalah tubuh yang berbau alkohol. Dengan mata merah menyala. Mata seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Dan dengan membabi buta hendak meraih tubuhku.
Aku sangat takut. Aku ambil barang-barang di dekatku. Sekenaku. Kulempar ke arah Joe yang tengah mabuk. Joe makin ganas. Aku berteriak. Menjerit. Meminta tolong. Aku tersandung kaki meja. Terjatuh. Ya Tuhan, ampuni aku. Jika selama ini Aku mendustakanMu. Jauh dari diriMu. Tuhan, Aku ingin menjaga amanah Bundaku. Kan kupertahankan kehormatanku semampuku.
Aku berusaha bangun dan mengangkat kursi besi di dekatku dan memukulkannya ke bahu Joe. Dia tersungkur jatuh. Namun, segera bangkit. Aku sangat gemetaran. Nafasku tersengal-sengal. Ya Tuhan, bantu hambaMu ini. Ampuni Aku. Sungguh, Aku tidak ingin mati sia-sia. Tenagaku sudah tidak cukup untuk melawan Joe. Lemas. Tulang-tulangku seperti terlepas dari tubuhku. Tidak bisa tegak kembali. Aku menjerit makin keras. Hingga akhirnya terdengar suara dentuman yang keras dan tubuh Joe menimpaku. Tapi, dia sudah tidak bergerak. Diam. Suasana hening. Aku mendengar ada isakan tangis wanita tua. Kusingkirkan tubuh Joe dariku. Kulihat histeris wanita tersebut yang segera merengkuh tubuhku dan memeluk dengan erat.
“Sebelum dia terbangun, segera lari dari sini, Nak. Pakai motor di depan. Ini bawa kuncinya.”
“Ibu siapa?”
“Saya Ibunya Joe. Ibu sudah tidak kuat dengan tingkahnya yang sering membawa wanita ke rumah. Ibu belum mampu melawannya selama ini. Dan wanita-wanita yang diajak ke rumah juga dengan rela dijamah anakku. Ibu hanya bisa menangis. Jeritanmu membangunkan tidur Ibu. Ayo, Nak. Segera pergi dari sini sebelum dia terbangun. Tapi tolong, rahasiakan peristiwa malam ini.”
Aku segera menerima kunci motor dari Ibu Joe. Mengambil tas. Dan mencium tangan Ibu Joe. Hingga di daun pintu, kubalikkan badanku. Ibu Joe masih terisak-isak di hadapan tubuh Joe yang masih pingsan.
***
Hujan mengguyur. Kuterjang air yang jatuh dengan rapat dari langit. Berbaur dengan air mataku di wajah. Kelenjar air mata ini sudah tidak mampu dibendung. Meluapkan rasa bersalahku. Kumpulan dosa-dosa yang menumpuk. Apakah akan terampuni?
Kendali motor kubiarkan melaju pesat. Ingin segera Aku kembali ke kos. Tapi, Aku butuh orang lain untuk kujadikan sebagai sandaran. Aku harus mencari orang yang bisa kupercaya. Pikiranku tertuju pada satu nama, Najwa. Ya, Aku harus menemuinya.
Tok tok tok. Tok tok tok.
“Najwa, bukakan pintu untukku. Najwa, tolong Aku. Tolong Aku. hiks hiks. Apa kau masih tidur, Naj? Bukakan pintu untukku.”
Kulihat jam tangan. Pukul 02.55.
Aku duduk tersungkur di sebelah pintu. Tanpa tersadar, Aku pun tertidur. Tak lama kemudian, ada tangan lembut yang mengusap kepala dan tanganku. Aku terbangun. Di depanku sudah ada seseorang yang sangat asing bagiku. Dia mengajakku memasuki kos. Akupun memenuhi ajakannya.
Semenit kemudian, Najwa muncul dari balik tirai bermotif bunga-bunga. Dia mendekatiku dan segera memelukku erat.
“Ada apa, Deb?”
Aku balas pelukannya seerat mungkin. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku. Tangisanku kembali meledak. Jemari Najwa menyeka tangisku.
“Tegarlah, Debbie. Mari ke kamarku. Ceritakan semua yang ingin kau ceritakan. Alangkah baiknya, kita mendirikan qiyamul lail terlebih dahulu.”
Hatiku makin pilu, “Aku sudah lupa bacaan sholat.”
Najwa terlihat kaget, kemudian tersungging sebuah senyuman yang tulus di bibirnya.
“Mari Aku ajari.”
Kubalas senyumannya. Belum pernah Aku merasa sebahagia ini seperti kala bersama Bundaku tercinta.
Paginya, Aku menemukan jiwaku yang sebenarnya. Bunda, Aku sangat mencintaimu. Bunda, terima kasih atas nasihat-nasihatmu. Allah, terimalah taubatku.


Sekian.

I Love You, Abi

Di depanku kini ada gundukan tanah berhias aneka bunga. Siluet senja menembus dedaunan kamboja. Aminan do’a mengalun halus dari lisan-lisan tetangga yang hadir dalam pemakaman istriku tercinta. Seorang wanita yang mendampingi hidupku selama 10 tahun dengan kesabaran yang luar biasa. Kesetiaan yang ia tawarkan kepadaku, membuat sebongkah ketidakrelaan hati berusaha menyusup perlahan kala ia harus meninggalkanku selamanya di dunia ini. Pengorbanan yang ia lakukan begitu besar. Ia menjaga harta dan buah hati semata wayang kami dengan kasih sayang yang tulus. Yaa Allah, izinkan Aku untuk bertemu kembali dengannya di akhirat.
Anakku, Ghulam, hanya bisa melihat dengan pandangan terheran-heran ke arah tanah berbunga itu dengan terus menggerak-gerakkan tangannya. Dan sesekali melihat orang-orang di sekitarnya, di samping kanan dan kiri.
Satu per satu, para tetangga meninggalkan lokasi. Hanya kaum kerabat dekat saja yang menemaniku hingga Aku selesai menatap pusara istriku. Hingga matahari mulai malu dan menyembunyikan diri, Aku dan Ghulam diajak kerabat menuju mobil kami. Kami kembali ke rumah.
^ ^ ^
Di hari ketiga sepeninggal istriku, Aku semakin merindukan kehadirannya. Selama ini, seringkali kutinggal Ia bersama Ghulam di rumah guna penyelesaian proyek di luar kota. Tak tega sebenarnya, namun inilah tuntutan kerja. Ghulam, menderita autis yang baru kami berdua sadari sejak usianya menginjak 7 tahun. Kini usia Ghulam 9 tahun.
“Ghulam, ayo makan sini. Ada masakan kesukaanmu.” Ajakku pada Ghulam yang belum sarapan pagi ini. Namun, tak ada jawaban. Dia asyik dengan crayon-crayonnya.
“Ghulam, ayoooo sini. Beras merah kesukaanmu siap disantap. Kalau tidak mau makan, Abi makan lho.” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Hingga enam kali Aku mengucapkan hal serupa kepadanya. Dan hasilnya tetap nihil. Kuputuskan untuk meletakkan mangkuk makanan di samping tubuhnya. Ternyata dengan cepat , Ghulam menyambar masakan itu. Habis tak tersisa.
“Hhhhmm, enaaak.” Komentar Ghulam. Akupun tersenyum. Tangannya terus bergerak-gerak. Selesai menyuap makanannya yang terakhir, dia berlari-lari memutari meja di ruang tamu. Namun ketika melihat kipas angin di sudut ruang, dia mendekat. Mengamati putaran kipas angin. Terus dan terus. Sepertinya dia sedang memasuki sebuah dunia di sana. Lama. Aku hanya mampu memandangnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
Ghulam memang tidak begitu banyak bicara. Sebenarnya Aku belum begitu mengenalnya. Karena istrikulah yang merawatnya selama ini. Istriku berpesan bahwa apapun yang terjadi dengan Ghulam, jangan sampai dirawat oleh orang lain.
Beberapa menit kemudian, gagang telepon ruang tengah memanggil-manggil, lumayan lama. Aku bergegas menyambutnya.
“Halo, Assalamu’alaykum. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.
“Ya, wa’alaykumussalam, Pak Tanto. Saya Rudi dari kantor.”
“Oiya, Pak Rudi. Ada apa, Pak? Tumben telepon ke sini.”
“Saya mau menyampaikan kalau gambar arsitektur gedung DPRD Kota Probolinggo harus selesai satu minggu lagi. Bisa kan, Pak? Karena dari pihak pemesan sudah membatasi hingga pekan depan.”
“Hhhm, iya Pak. Insya Allah bisa.” Semoga saja Allah mengizinkanku untuk menyelesaikan amanah ini tepat waktu.
“Oke, Pak Tanto perlu tahu juga. Kalau proyek ini tidak selesai pada waktunya, maka kantor kita akan di-black list. Pun, dengan Pak Tanto. Pihak kantor bisa memecat Bapak kalau tidak mengerjakan tugas dengan baik. Karena persaingan di luar sekarang sudah sangat ketat.”
“Iya, Pak. Iya, saya usahakan. Mohon do’anya” jawabku.
“Ya. pekan depan saya ke rumah Bapak untuk mengambil hasilnya. Wassalamu’alaykum, Pak Tanto”
“Wa’alaykumussalam, Pak Rudi.”
Begitu kuletakkan gagang telepon, kedua mataku beralih kepada Ghulam. Dia masih sibuk dengan crayon-crayonnya.
^ ^ ^
Malam demi malam berlalu. Kutuntaskan pekerjaanku di ruang kerja. Aku hanya bisa bekerja setelah Ghulam tertidur. Jadi, di waktu yang sangat singkat ini Aku manfaatkan sebaik-baiknya. Akhirnya pesanan gambar arsitektur sudah selesai dengan sempurna. Besok siang Pak Rudi bisa mengambilnya. Senyum banggaku mengembang.
Biasanya ketika Aku begadang menyelesaikan pekerjaanku, istriku setia menemaniku di ruang kerja. Membawakan secangkir kopi herbal dan tak jarang memijati pundakku kala Aku mulai kelelahan. Alhamdulillah, pekerjaan sudah selesai. Aku segera bangkit menuju kamar tidur.
Esok harinya, kala benang putih sudah muncul dalam kegelapan Aku bangun menunaikan sholat shubuh di masjid. Sepulang dari masjid, badanku kubawa ke ruang kerja. Pintunya terbuka. Aku lupa menutupnya tadi malam. Namun, Aku tak percaya apa yang Aku temui di sana.
“Ghulam!!! Apa yang kamu lakukan! Ini pekerjaan Abi kamu apakan?”
Ghulam yang masih memegang crayon warna merah dan hijau di tangan kanannya, segera lari meninggalkan ruangan.
Aku melihat gambar arsitekturnya. Berantakan. Banyak goresan tidak jelas di semua titik. Apa yang harus kulakukan? Siang ini Pak Rudi mau mengambilnya. Kemarahanku terpancing. Kucari Ghulam. Namun tak kunjung kutemukan. Aku menuju kamarnya. Tidak ada. Kulihat di bawah ranjang. Tidak ada pula. Di dalam lemari bajunya yang cukup besar terdengar suara. Kubuka. Ghulam meringkuk di sana. Kuseret badannya dan segera kupukul tubuh bagian belakang beberapa kali. Dia menangis keras. Akupun tak kuasa mendengar erangan sakit dari mulutnya. Aku mendekapnya segera. Ini bukan salahnya. Bukan salahnya. Bukan.
“Ghulam, mengapa kamu melakukan ini kepada Abi, Ghulam? Apa Ghulam ingin Abi dipecat? Mengapa Ghulam melakukan ini?”
Tangisku benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Mengiringi tangisan Ghulam yang masih keras. Apa yang akan kukatakan kepada Pak Rudi?
Waktu yang dinantikan datang juga. Bel rumah bernyanyi. Kudekati daun pintu utama.
“Assalamu’alaykum, Pak Tanto. Sekarang saya mau menjemput gambar karya Pak Tanto. Gimana? Sudah selesai kan?”
Pak Rudi begitu gembira. Senyum mengembang luas di bibirnya. Hatiku teriris. Sulit rasanya mengatakan hal ini. Namun, harus segera diucapkan.
“Wa’alaykumussalam, Pak Rudi. Silahkan masuk.”
“Saya langsung saja, Pak Tanto. Tidak usah repot-repot.” Senyum lebar itu masih menghiasi wajahnya. Pahit rasanya mengatakan ini semua.
“Pak Rudi, saya minta ma’af,” paras Pak Rudi mulai berubah, “gambar arsitektur yang sudah saya selesaikan tadi malam rusak.”
“Apa! Rusak! Lalu bagaimana dengan proyek kantor kita?!” paras Pak Rudi benar-benar sudah membalik 180 derajat dari semula.
“Iya, Pak. Ghulam mencoretinya.” Jujurku.
“Saya tidak mau tahu! Hari ini juga segera ke kantor menemui bos dan  siap-siaplah untuk menerima pemecatan! Pak Tanto sudah mencoreng nama baik kantor! Saya pamit pulang!.” Pak Rudi benar-benar marah.
Yaa Allah, ampuni hambaMu ini.
^ ^ ^
Sempoyongan badanku menuju pintu rumah. Bos marah besar. Surat pemecatan terdiam di dalam tas hitamku. Hari ini Allah benar-benar mengujiku. Kurebahkan badanku di kamar tidur. Belum sempat memejamkan mata, Aku mendengar suara pukul-pukulan yang cukup keras. Kucari sumber suara pukulan tersebut. Dari dapur. Ghulam!
“Ghulam! Ada apa, Nak! Ghulam!?” Aku sangat panik. Ghulam membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Terus menerus. Aku bingung.
“Ghulam, sadarlah Ghulam!”
Ghulam menangis dan tidak berhenti untuk mempertemukan kepalanya dengan dinding secara kasar. Bahkan dia menjerit-jerit histeris. Kulihat daerah sekitar. Ada bekas gigitan di buah apel merah yang tergeletak di meja dapur.
Segera kubawa Ghulam ke rumah sakit. Tangan dan kakiku turut bergetar. Aku menanti pemeriksaan dokter. Panik. Begitu pintu ruang pemeriksaan dibuka, Aku menghamburkan diri menemui dokter.”
“Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?”
“Apakah Bapak belum pernah menemui kejadian anak Bapak seperti ini sebelumnya?”
“Belum pernah, Dok. Saya jarang sekali di rumah. Istri saya yang merawat dia. Dan istri saya tidak pernah menyampaikan hal apapun kepada saya.” Terangku.
“Ma’af sebelumnya. Karena anak Bapak diuji dengan penyakit autis, dia harus melakukan diet. Tidak makan sembarangan. Sebelumnya Bapak menyampaikan kepada saya kalau Bapak menemukan buah apel di dekatnya. Nah, si penderita autis juga tidak boleh mengonsumsi sayur dan buah-buahan yang mudah berubah warna seperti pada apel dan belimbing. Selama ini dia mengonsumsi beras merah dan beras organik kan?”
“Iya, Dok. Kalau hal itu saya tahu.”
“Ya, bagus.”
“Anak bapak harus diet. Meninggalkan gula, susu, tepung dan sebagainya. Dia masih boleh mengonsumsi ikan dan daging. Jika pantangannya dilanggar maka yang akan terjadi adalah seperti apa yang terjadi pada anak Bapak sekarang ini. Gejala ini dinamakan Tantrum. Dia akan kehilangan kendali emosi. Membentur-benturkan kepalanya. Dan efek ini akan terjadi hingga dua pekan ke depan. Saran saya, biarkan dia di-opname di rumah sakit dulu.”
“Ya, Dokter. Saya mengikuti saran dokter.”
“Oke, Bapak bisa segera mengurus administrasinya ke bagian administrasi. Mari, Bapak.”
“Iya, Dokter. Terima kasih.”
^ ^ ^
“Duhai anakku, ma’afkan Abimu yang belum mampu merawatmu dengan baik seperti Umimu.”
Aku hanya terus bisa memandang buah hatiku penuh haru. Mengusap-usap rambut kepalanya. Tangan dan kakinya diikat di ranjang. Emosinya masih belum stabil.
Sudah sepekan Ghulam menginap di rumah sakit. Sepertinya Aku perlu kembali ke rumah untuk membawakan pakaian ganti dan segala keperluan yang diperlukan Ghulam.
Setiba di rumah, Aku menuju ke kamar Ghulam. Kuambil barang-barang yang perlu dibawa ke rumah sakit. Saat kuambil beberapa baju dari lemari Ghulam, sebuah buku diary bersampul coklat dengan tempelan bunga-bunga dari lilitan benang batang pisang jatuh dari sela-sela tumpukan baju. Buku diary istriku. Lembaran demi lembaran kubuka, kubaca. Dan Aku mulai tertegun membaca salah satu isi diary.
Semarang, 17 November 2009
Duhai suamiku, tahukah kau? Anak kita sudah mulai merajut pendidikan formal. Sekolah luar biasa. Ya, kita harus mensyukuri karunia dari Allah Swt meskipun banyak hinaan datang dari orang sekitar. Suamiku, tahukah kau? Terkadang aku lalai dalam menjaga buah hati kita. Ghulam memakan makanan pantangannya. Dia menjerit-jerit. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa aku lakukan hanya tilawah di hadapannya. Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan. Dan tahukah kau, suamiku? Dia langsung terdiam, menyimak bacaanku. Sejak saat itu, Aku merawat buah hati kita dengan al-Qur’an.
Duhai suamiku, tahukah kau? Di awal-awal sekolah anak kita, Ghulam langsung menunjukkan bakat yang luar biasa. Dia pandai menggambar. Di bulan Oktober kemarin, Ghulam berhasil memenangkan lomba gambar. Jika aku ingat, akan kuperlihatkan kepadamu karya Ghulam. Engkau pasti suka. Sementara aku simpan dulu ya…., kusimpan di laci lemari ini.

Yaa Allah, selama ini apa yang Aku lakukan? Tidak memberikan perhatian sepenuhnya kepada keluarga. Waktuku dengan keluarga hanya waktu sisa. Sisa setelah lama bekerja. Astaghfirullahal ‘adhiim…,
Tanganku beralih dari diary, menuju laci. Terlihat kertas putih di dalamnya. Campuran berbagai warna terlihat di balik kertas itu. Berbaur dengan indah. Kontras. Penuh warna. Kumeneteskan air mata begitu membaca tulisan I LOVE YOU, ABI yang berada di bawah gambar seorang laki-laki. Itu aku. ya aku. Di samping laki-laki itu ada seperangkat alat gambar rancang arsitektur. Rinduku pada Ghulam menyeruak. Ingin segera Aku menemuinya. Mengecup pipinya yang menggemaskan. Dalam keterbatasanmu, ada harta karun yang sangat berharga. Dan engkau hadir karena ketentuan ilahi. I love you too, Ghulam.



Sekian.

Cahaya Kedua

Lima belas menit sudah aku menunggu sejak pukul 10.00 WIB, akhirnya bus yang akan mengantarkanku ke pekalongan tiba juga. Kulangkahkan kakiku yang lemah ini menuju nomor kursi bus seperti tertera dalam karcis, 26. Inilah kursi yang menjadi hakku sampai aku tiba ke lokasi tujuan. Sengaja kupilih bus patas supaya perjalananku nyaman, tanpa harus mengkhawatirkan adanya asap rokok yang berbaur dengan udara yang aku hirup untuk pernapasan. Di usia kelima puluh satu ini, aku semakin menyanyangi anggota badanku yang fungsinya sudah mulai menurun dimakan waktu. Kan kujaga amanah Allah berupa badan pelekat jiwaku ini.
Semua penumpang telah siap di posisinya masing-masing. Bus mulai melaju pelan dan menambah kecepatannya sedikit demi sedikit. Kupandangi pepohonan di tepi jalan.  Lalu kupindahkan pandanganku ke samping kanan, ada seorang gadis belia yang sibuk dengan buku di tangan kanannya. Ingin kusapa dia, tapi aku takut mengganggu aktivitasnya, sudahlah, kuurungkan saja niatku. Kembali kupandangi pemandangan lewat jendela. Kini kudapati sawah yang terbentang luas lengkap dengan pegunungan di ujungnya.
“Subhanallah, indah ya bu.”
Terdengar suara lembut di telingaku. Ternyata suara itu berasal dari gadis berkulit sawo matang di sampingku. Bola matanya begitu jernih. Bulu matanya lentik. Tangannya terlihat sudah tidak memegang buku.
“Iya nduk, bagus.” Sahutku lumayan kaget.
“Sungguh tiada duanya, semua ciptaan Allah SWT luar biasa. Aku bangga menjadi hambaNya.” Ujarnya dengan lembut ditaburi senyuman indah di bibirnya, sehingga menambah manis parasnya yang biasa itu. 
Mbak sendirian?” Tanyaku.
“Iya, bu.”
“Kuliah nggih?”
“Tidak, bu, masih kelas tiga SMA.” Jawabnya.
“Sekolah di mana, nduk?”
“SMA Negeri 3 Semarang.”
“Owalah, cah pinter iki?” Kagumku.
“Kenapa, bu?”
“Kamu ini pintar ya, nduk?”
“Tidak, bu. Saya tidak pintar. Cuma berusaha menjadi orang pintar.” Senyum malu-malu itu masih melekat erat di wajahnya, Kalau saya boleh tahu, Ibu dari mana dan mau ke mana?”
“Saya baru menghadiri pameran batik karya anak saya di hotel Pandanaran, ini mau pulang ke Pekalongan.”
Perbincangan kami terus berlangsung dan terhenti seketika, begitu ada dentuman keras terdengar di telingaku ini. Oh, mengapa mataku sakit sekali? Dunia berubah, yang dapat kulihat kini hanyalah kegelapan. Dan sepertinya bumi tidak dapat lagi kurasakan kehadirannya.
¤¤¤¤¤
Saraf tanganku merasakan kedinginan, saraf-saraf tubuhku lainnya pun mengikuti. Kubuka kedua belah mataku pelan-pelan dan kupastikan semua benda di sekitarku dapat tertangkap oleh mataku. Betapa terkejutnya aku, ruangan yang kutempati sekarang lebih mirip dengan rumah sakit!
Anam, bukankah itu anam? Iya, tidak salah lagi. Dia anam, anakku, mengapa dia tidur di kursi sudut ruangan ini? Bukankah ia harus mengawasi pamerannya yang berlangsung satu minggu? Apa dentuman keras itu mengakibatkan efek yang luar biasa padaku sehingga anakku harus menjagaku sampai sedemikian rupa?
Dia terbangun dari tidurnya dan berhambur cepat menuju tempat tidurku bak elang menyambar mangsanya. Tatapan matanya berbinar-binar memandangku tanpa henti.  Luapan kebahagiaannya sungguh luar biasa.
“Akhirnya ibu siuman juga.” Suara yang bergetar itu ikut menggetarkan hatiku.
“Ada apa sih, le? Ibu kenapa?”
“Ibu tak sadarkan diri sejak kecelakaan di Alas Roban kemarin. Sopir kehilangan kendali dan bus yang ibu tumpangi terguling ke kiri badan jalan. Kemudian, Ibu dilarikan ke rumah sakit Siti Khadijah.”
“Kecelakaan? Terus bagaimana penumpang yang lain?”
“Alhamdulillah semuanya selamat. Hanya beberapa korban yang luka berat termasuk ibu.”
“Luka berat bagaimana tho, le. Lha ibu jelas-jelas sehat begini kok.”
“Iya, sekarang ibu istirahat dulu saja. Dokter sudah memperbolehkan ibu pulang besok. Tapi, lebih baik pulang lusa saja. Anam mau memastikan kesehatan ibu sudah pulih benar.”
Nggih, cah manangku sing bagus pisan. Terus, bagaimana pameranmu?”
“Tenang, bu. Sudah ada yang menghandle.”
Terima kasih ya allah, Engkau telah menganugerahkan kepadaku anak yang sangat menyanyangiku. Terima kasih suamiku, engkau telah memahatkan cintamu padaku dan pada putramu. Meski kini kau telah mendahuluiku untuk menemuiNya, namun pengabdianku padamu kan terus mengalir melalui do’a, dan kudidik buah hati kita menjadi anak sholeh yang juga kan mengalirkan do’anya padamu tiada henti. Semoga kuburmu dilingkupi cahayaNya. Semoga Allah mempertemukan kita sekeluarga di JannahNya. Amiin.
¤¤¤¤¤
“Apa! Mengapa kamu tidak memberitahukan Ibu perihal ini sejak dulu! Sedangkan kamu juga tidak mengucapkan terima kasih padanya!”  Marahku tak tertahan. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa membalas kebaikan gadis itu? Ia pasti sangat menderita.
“Maafkan anam, bu. Kata dokter, kedua bola mata ibu tertancap oleh serpihan kaca. Jika Ibu tidak segera memperoleh mata donor, ibu akan buta selamanya. Anak perempuan yang mengantarkan ibu langsung menawarkan kedua bola matanya untuk ibu. Namun, ia tidak mau mencamtumkan identitasnya dalam data pendonor. Hanya tulisan ‘Hamba Allah di Bumi Allah’ yang tercantum di sana. Setelah ibu selesai dioperasi, ia langsung pulang ke rumahnya diantar pihak rumah sakit. Anam baru mendapat kabar mengenai Ibu beberapa jam kemudian, untuk mengurus administrasi Ibu.”
Bagaimana aku bisa membalas jasa yang luar biasa ini kepada gadis itu? Kita berdua baru sekali jumpa, namun pengorbanan yang ia lakukan untukku melebihi pengorbanan kerabat dekat, bahkan lebih dari itu. Karena tidak semua kerabat mau menolong saudaranya yang sedang tertimpa kesusahan. Meskipun Allah telah menjanjikan surga kepada orang yang ikhlas memberikan pertolongan kepada saudaranya.
Bagaimana aku bisa menemukannya? Aku harus membalas jasanya! Mata ini adalah matanya. Mata gadis muda. Mata yang jernih, yang tidak semua orang memilikinya. Ini adalah mata yang ia gunakan untuk membaca, melihat fenomena kehidupan. Kini, ia dalam kegelapan. Aku telah mencabut kebahagiaan darinya! Mengapa ia mau melakukan ini?
Air mataku berderai membasahi pipiku yang telah mengerut. Andai sopir itu tidak lepas kendali! Andai tidak ada serpihan kaca yang masuk ke mataku! Ah, aku tidak boleh menyalahkan orang lain atau apapun. Semuanya telah tercatat dalam kitab Lauhul MahfudzNya.
Anam mendekatiku dan mengelus pundakku. Ia berusaha menenangkanku yang larut dalam kesedihan.
“Apa ibu mengetahui sesuatu hal darinya yang bisa menunjukkan kepada kita tentang keberadaannya?” Anam melontarkan pertanyaan yang menggiringku pada peristiwa sebulan yang lalu.
“Entah, daya ingat ibu melemah.”
“Pasti ada kan, bu. Mungkin nama, atau barang-barang yang ia bawa seperti apa?”
“Ibu lupa. Sepertinya ibu tidak sempat menanyakan nama padanya meski kita berdua berbincang cukup lama. Awal melihatnya, ia sedang membaca buku”
“Ibu berbincang dengannya? Coba ibu ingat betul-betul, apa saja yang ia sampaikan kepada ibu.”
“Iya. Ibu akan mencoba.” Aku harus memusatkan konsentrasiku. Aku harus menemukan kata kunci dari sekian kata yang sempat gadis itu ucapkan. Akhirnya ada sebuah titik terang di sana.
“Anam, ibu ingat satu hal.”
“Apa itu, bu?”
“Gadis itu masih sekolah, kelas tiga di SMA N 3 Semarang.”
“Ibu yakin?” Tanya anam agak ragu.
“Iya, ibu yakin betul. Waktu itu ibu bilang padanya kalau ia itu anak pintar. Tapi gadis itu tidak mau mengakui. Padahal jelas-jelas ia sekolah di SMA Favorit, SMAmu dulu, le.”
“Kalau begitu. Sekarang kita ke Semarang, bu. Nanti ke kantor anam dulu. Besoknya kita ke SMA N 3.”
“Iya, le. Semoga Allah mempermudah jalan kita untuk menemukan gadis itu.”
¤¤¤¤¤
Apa yang terjadi tidak sesuai harapan. Manusia harus berikhtiar, namun Allahlah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Awalnya aku menyangka akan segera menemukan gadis itu. Namun, Allah berkehendak lain. Hanya selembar kertas bertuliskan alamat Yayasan Yatim Piatu yang kuperoleh. Di kertas itu juga tertulis nama gadis itu, Faza Nazila. Kepala SMA N 3 tidak mau menjelaskan alasan mengapa Zila mengundurkan diri dari sekolahnya, padahal pihak sekolah akan memberikan keringanan padanya saat Ujian Nasional nanti dengan dibantu pemblokkan jawaban yang ia pilih ke dalam lembar jawab. Namun, Zila menolak.
Aku tak akan menyerah untuk mencarinya. Seperti Zila yang tidak menyerah pada hiruk pikuk kehidupan tanpa didampingi kedua orang tua kandungnya dari entah kapan sampai saat ini, tak ada satupun kaum kerabatnya yang mau merawatnya.
Allah benar-benar menguji kesabaranku. Sesampainya di Yayasan yatim piatu di Kota Kuningan, tempat gadis itu dididik dan dibina, hasilnya nihil. Ia sudah pindah ke Yayasan Tuna netra di Kota Lamongan. Yaa Allah, yaa Rabbku, beri aku kekuatan untuk bisa melanjutkan pencarian ini.
¤¤¤¤¤
Terima kasih Allah, Engkau telah mengabulkan harapanku. Aku percaya bahwa Engkau pasti mengabulkan do’a tiap-tiap hamba-Mu sesuai waktu yang telah Engkau tetapkan.
Mulai kulihat gapura SELAMAT DATANG DI KOTA LAMONGAN hingga memasuki kota itu hatiku berdegup kencang. Entah apa yang terjadi. Degupan itu makin kencang saat kutemukan sebuah gedung dengan plang bertuliskan YAYASAN TUNA NETRA NURUL ‘ILMI. Seorang wanita paruh baya menyambut kami, setelah Anam menjelaskan maksud kami datang ke yayasan ini, wanita itu mengantarkan kami menuju ruangan yang dipenuhi remaja-remaja putri yang sedang belajar huruf Braille. Dan di antara remaja puteri berjilbab hijau muda itu, ada seorang gadis yang kukenali. Zila. Rasa haruku mendesak kelenjar air mata untuk mengeluarkan butiran-butiran jernih. Apa yang kucari kini telah nampak di pelupuk mata.
“Faza nazila…..” isakku seraya kuraih tubuhnya itu.
“Ibu, kok bisa sampai sini? Ada apa?” tanyanya polos. Ia masih mengenali suaraku.
“Aku mencarimu, nduk. Mengapa kamu mau berkorban demi Ibu?” derai air mata ini tak mau berhenti.
“Ibu…. Sudah sepantasnya saya membantu orang yang sedang membutuhkan. Kala itu, Ibu sangat membutuhkan bantuan.” Jelasnya.
“Tapi, kau telah melukai dirimu sendiri, nduk.”
“Zila tidak melukai diri sendiri, bu. Zila malah mengobati diri Zila. Zila semakin peka terhadap kehidupan ini. Zila dapat semakin bersyukur sama Allah. Zila ingin membantu orang lain sesuai kemampuan Zila. Karena kala itu, kemampuan Zila adalah Zila sendiri, jadi kuserahkan anggota tubuh Zila yang dibutuhkan Ibu. Yang kuharapkan hanyalah ridho Allah, bukan selainnya” Terangnya dengan senyum indah yang masih sama seperti pertama kali bertemu dengannya. Manis. Sejuk.
“Terima kasih, nduk. Kau telah berkorban untuk menciptakan cahaya kedua dalam hidup ibu.”
Semua rasa telah tercampur aduk dalam mangkuk jiwaku. Zila telah mengajarkanku-ibu berumur 51 tahun- arti sebuah pengorbanan tanpa pamrih. Semoga Allah membalas amal baikmu dengan Jannah-Nya. Amiin.
Meskipun kuberikan seluruh hartaku untuk Zila, namun tidak akan sanggup melunasi hutangku padanya. Namun, aku berniat untuk membiayai kuliah Zila nanti. Ia pernah mengatakan saat di bus, kalau ia ingin menjadi guru di Sekolah Luar Biasa. Di sekolah itu, ia bisa lebih dekat dengan anak-anak yang memilki keterbatasan, menurutnya mereka mempunyai kemampuan melebihi manusia normal. Di saat yang lain menjauhi orang-orang yang terbelakang, Zila justru mendekat pada mereka dan menyentuh mereka dengan nilai-nilai kebaikan. Dan aku harus mewujudkan keinginannya itu.

Kuharap juga, Anam bersedia bersanding dengannya kelak. Sehingga aku lebih dekat dengannya. Aku tahu, Anam bukanlah tipe lelaki yang melihat manusia dari sisi fisiknya saja, yang lebih ia utamakan adalah kelembutan hati dan kekuatan akidah manusia itu. Semoga harapan-harapanku ini juga akan dikabulkan Allah SWT, kapanpun waktunya. Karena aku tahu, Allah lebih mengetahui apapun yang terbaik untuk hamba-Nya.