Syifa
sudah tidak kuat membendung air matanya. Ia ingin segera mengusap buliran air
yang terus menetes di pipi emaknya, Mak Zaitun. Syifa hanya dapat menatap sosok
lemah berbalut mukena itu melalui celah pagar kayu pembatas antara kamarnya
dengan kamar emaknya. Setiap sepertiga malam, isak tangis Mak Zaitun seolah
menjadi ritual.
“Yaa
Allah, kuatkanlah jiwa emakku.” gumam Syifa lantas menatap adik tirinya yang
terlelap.
Matahari
telah mengusir kegelapan secara perlahan. Ayam bertahta di atas pagar rumah. Mak Zaitun tengah sibuk menyelami lautan
aktivitas rumah tangga.
“Uuuhh,
piye to? Sudah siang nih, mak. Sarapannya belum jadi juga. Aku
berangkat saja!!! Tidak mau sarapan!!! Mana uang sakunya?!!” bentak Khoirunnas,
adik tiri Syifa yang biasa dipanggil Irun. Rambutnya acak-acakan dan tidak mau
disisir. Kenakalan dan kekasaran Irun berbeda dengan anak-anak seusianya. Syifa
dan Mak Zaitun terus bersabar menghadapinya.
“Emak
belum dapat uang gaji dari majikan, le?”
“Biasa!
Bosen aku sama jawaban itu. Emak kerjanya mbatik
tok sih! Uang kita kan jadinya
sedikit, tidak nambah-nambah.”
Inilah
gambaran keluarga Mak Zaitun semenjak Pak Karjo berpulang ke rahmatullah. Syifa
juga turut membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dia lebih
memilih putus sekolah supaya biaya pendidikan berkurang dan ia dapat fokus
bekerja untuk membiayai sekolah adiknya yang masih duduk di kelas 6 SD.
٭٭٭
Tahun
lalu, setelah meninggalnya Pak Karjo, ayah Irun, Irun terus mengurung diri di
dalam kamarnya. Sulit sekali diajak makan, minum, apalagi mandi. Dia sangat
terpukul atas kejadian yang menimpa ayahnya. Karena menurutnya, hanya ayahnya
yang menjadi bagian keluarganya. Pak Karjo menikah dengan Mak Zaitun saat usia
Irun masih 5 tahun. Syifa menjadi kakak tiri Irun. Selisih 2 tahun.
“Ini
kamarku, kamu tidak boleh masuk!!? Pergi dari rumah bapakku!!! Sana, sana,
sana. Husyyyy!!!” bentak Irun kepada Syifa suatu waktu, saat Pak Karjo meminta
mereka untuk berbagi kamar tidur. Maklum, rumah Pak Karjo sangat sederhana.
Hanya ada 2 kamar tidur. Alas rumah juga masih berupa tanah. Meskipun alas
rumah milik tetangga mereka sudah berkeramik semuanya. Syifa hanya diam dan
mengikuti perintah adiknya. Alhasil, malam itu, Syifa tidur di ruang tamu
beralaskan tikar pandan dan bertemankan angin malam yang menusuk kulitnya yang
sawo matang.
٭٭٭
Hari
berganti hari, Syifa semakin bersemangat untuk bekerja. Irun akhirnya mau
dimasukkan ke pesantren Nurul Iman setelah sekian bulan lamanya dari kelulusan
SD, Irun hanya bermain-main di rumah ngalor-ngidul-ngetan-ngulon
tidak jelas.
“Alhamdulillah, Nduk. Adikmu sekarang masuk ke lingkungan orang sholeh. Pesantren. Semoga
dia bisa menjadi anak Sholeh.” Mata Mak Zaitun tampak berkaca-kaca.
“Nggih, Mak. Syifa juga turut senang dan bahagia. Ternyata Allah sangat mudah
untuk membolak-balikan hati manusia termasuk tole Irun.” tambah Syifa.
Selang
beberapa bulan, impian yang memukau itu buyar tersapu badai besar. Irun
dikeluarkan dari pesantren, kenakalannya membuat seluruh penghuni pesantren
kebakaran jenggot.
Koki
pesantren geram, makan siang yang dengan sepenuh hati akan ia hidangkan kepada para santri, dibubuhi 3 kg garam oleh Irun
ketika dapur sepi tidak ada yang menjaga. Tempat tidur teman sekamarnya sering
dia basahi dengan air seember. Irun di-black
list oleh pesantren, dan dikembalikan ke keluarganya.
٭٭٭
Pupus
sudah semua angan, Mak Zaitun dan Syifa kembali diteror oleh tingkah Irun.
Entah kapan kenakalan anak itu akan berakhir.
“Sing sabar yo, Mak. Gusti Allah bakal
maringi dalan. Kula mboten saged mbantu napa-napa.” Mak Saudah mencoba
mendinginkan hati Mak Zaitun yang telah cukup bersabar menghadapi tingkah laku Irun.
“Opo salahku to? Gusti Allah maringi ujian
kaya ngene?”
“Istighfar,
Mak. Istighfar…..”
Sementara
itu, matahari masih semangatnya bersinar, Irun berpetualang ke pusat kota. Sendirian.
Dari kejauhan ia melihat ada pesta jajan di lapangan kota. Pengunjung
berjejal-jejalan. Dia memasuki keramaian itu. Mata Irun tertuju pada makanan
yang berbentuk lingkaran besar dengan berbagai potongan-potongan daging dan
sayur yang menawan hatinya. Di stand makanan itu tertulis “PIZZA HOT”.
Kelenjar
ludah Irun mulai terangsang untuk mengeluarkan liur. Tapi, di kantong baju Irun
tak ada uang serecehpun. Ia tergoda dengan dompet merah muda yang ada di saku
celana milik perempuan yang sedang berjalan di depannya. Ia raih dompet itu dengan
jurus bayangan. Namun jurusnya masih payah. Alhasil banyak orang yang
memergoki. Hampir-hampir bocah berkulit kusam itu jadi bulan-bulanan pengunjung
pesta jajan jikalau seorang pemuda berparas bersih tidak segera menjadi
pahlawan penolong Irun.
Irun
diajak ke tempat kediaman pemuda yang bernama Syafa’. Dilihatkannya sebuah
panorama yang berkesan di hati Irun. Rumah sederhana yang memiliki halaman luas
penuh pepohonan dengan beraneka ragam mainan anak-anak. Di sana juga banyak
anak-anak seusia Irun yang sedang bermain, belajar dan mengaji.
Irun
enggan kembali ke rumahnya dan tidak mau menyebutkan kepada Syafa’ dimana
alamat rumahnya. Syafa’ tidak bisa memaksa, ia memperbolehkan Irun tinggal di
pondok kecil itu. Irun begitu tunduk dengan pemuda yang murah senyum itu.
Setiap aktivitas yang Syafa’ lakukan, Irun mengamatinya. Ia kagum dengan
kelembutan dari Syafa’. Tanpa sadar, ia juga turut mempraktikan aktivitas yang
sering dilakukan Syafa’. Tilawah, membaca buku, memotong rumput di halaman,
mengepel, mencuci pakaian bahkan memasak.
٭٭٭
Mak
Zaitun dan Syifa kalang kabut. Sudah dua minggu Irun tidak pulang. Ia
menanyakan keberadaan Irun ke seluruh tetangganya bahkan ke kampung sebelah.
Namun, hasilnya nihil.
Sementara
di tempat lain, Irun sedang dilanda bahagia. Ia dan teman-teman di pondok kecil
itu diajak Syafa’ untuk bertamasya keliling pegunungan. Syafa’ menyebarkan benih-benih
keimanan dalam hati anak-anak. Lewat lisan dan gerak tubuhnya, ia bangkitkan
fitrah manusia dalam diri insan-insan kecil
di hadapannya.
Irun
yang duduk di barisan paling depan, mulai berkaca-kaca hingga akhirnya setetes
bulir air di matanya jatuh membasahi bumi. Allah Maha membolak-balikan hati.
Kini, Dia benar-benar menetapkan hati Irun, hati seorang bocah yang kering akan
pengakuan terhadap ilah-Nya. Anak kecil yang beranjak remaja itu takluk di
hadapan Tuhan-Nya. Ia baru teringat akan apa yang telah ia lakukan di masa
lampau. Ayahnya, Ibu kandungnya, Mak Zaitun dan kakak tirinya, Syifa. Ia
menangis tersedu sedan.
٭٭٭
Dalam
guyuran hujan yang sangat rapat, terdengar suara mesin motor di sela-selanya. Remang
kedengarannya. Mak Zaitun dan Syifa saling menatap dengan wajah bertanya-tanya.
“Siapa,
Mak?” tanya Syifa kepada emaknya yang
sedang menjahit bajunya yang sobek.
“Tidak
tahu, Nduk. Coba kau hampiri.”
“Iya,
Mak.” Ketukan pintu dan salam
bersahutan di balik pintu. Syifa mendekat dan menjawab salam. Seketika itu Syifa
memperoleh sesosok tubuh yang sangat dirindukannya. Tatapan Syifa beralih ke
sosok pemuda di sebelah Irun. Tanpa mempedulikan apapun, Syifa meraih tubuh
Irun. Syifa peluk tubuhnya dengan erat, adik yang telah lama menghilang dari
pandangannya kini berada dalam rengkuhannya.
“Emak
mana, mbak?” tanya Irun dengan
lembut. Syifa terharu mendengarnya. Syifa mempersilakan Irun dan Syafa’ masuk
ke surganya. Syifa selalu menancapkan di sanubarinya dengan ungkapan “Baitii
Jannatii, Rumahku Surgaku”.
Malam
itu, tetesan-tetesan air hujan mengiringi tetesan air mata yang mengalunkan
takbir. Semakin deras guyuran hujan, semakin mendalam makna takbir yang
dirasakan. Mak Zaitun membayangkan wajah suaminya yang tersenyum. Akhirnya,
harapan Pak Karjo akan keberkahan nama anaknya dapat terwujud. Khoirunnas.
Sebaik-baik manusia.
"Khoirunnas anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar