Rabu, 31 Desember 2014

Sebaik-baik Manusia

Syifa sudah tidak kuat membendung air matanya. Ia ingin segera mengusap buliran air yang terus menetes di pipi emaknya, Mak Zaitun. Syifa hanya dapat menatap sosok lemah berbalut mukena itu melalui celah pagar kayu pembatas antara kamarnya dengan kamar emaknya. Setiap sepertiga malam, isak tangis Mak Zaitun seolah menjadi ritual.
“Yaa Allah, kuatkanlah jiwa emakku.” gumam Syifa lantas menatap adik tirinya yang terlelap.
Matahari telah mengusir kegelapan secara perlahan. Ayam bertahta di atas pagar rumah.  Mak Zaitun tengah sibuk menyelami lautan aktivitas rumah tangga.
“Uuuhh, piye to? Sudah siang nih, mak. Sarapannya belum jadi juga. Aku berangkat saja!!! Tidak mau sarapan!!! Mana uang sakunya?!!” bentak Khoirunnas, adik tiri Syifa yang biasa dipanggil Irun. Rambutnya acak-acakan dan tidak mau disisir. Kenakalan dan kekasaran Irun berbeda dengan anak-anak seusianya. Syifa dan Mak Zaitun terus bersabar menghadapinya.
“Emak belum dapat uang gaji dari majikan, le?”
“Biasa! Bosen aku sama jawaban itu. Emak kerjanya mbatik tok sih! Uang kita kan jadinya sedikit, tidak nambah-nambah.”
Inilah gambaran keluarga Mak Zaitun semenjak Pak Karjo berpulang ke rahmatullah. Syifa juga turut membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dia lebih memilih putus sekolah supaya biaya pendidikan berkurang dan ia dapat fokus bekerja untuk membiayai sekolah adiknya yang masih duduk di kelas 6 SD.
٭٭٭
Tahun lalu, setelah meninggalnya Pak Karjo, ayah Irun, Irun terus mengurung diri di dalam kamarnya. Sulit sekali diajak makan, minum, apalagi mandi. Dia sangat terpukul atas kejadian yang menimpa ayahnya. Karena menurutnya, hanya ayahnya yang menjadi bagian keluarganya. Pak Karjo menikah dengan Mak Zaitun saat usia Irun masih 5 tahun. Syifa menjadi kakak tiri Irun. Selisih 2 tahun.
“Ini kamarku, kamu tidak boleh masuk!!? Pergi dari rumah bapakku!!! Sana, sana, sana. Husyyyy!!!” bentak Irun kepada Syifa suatu waktu, saat Pak Karjo meminta mereka untuk berbagi kamar tidur. Maklum, rumah Pak Karjo sangat sederhana. Hanya ada 2 kamar tidur. Alas rumah juga masih berupa tanah. Meskipun alas rumah milik tetangga mereka sudah berkeramik semuanya. Syifa hanya diam dan mengikuti perintah adiknya. Alhasil, malam itu, Syifa tidur di ruang tamu beralaskan tikar pandan dan bertemankan angin malam yang menusuk kulitnya yang sawo matang.
٭٭٭
Hari berganti hari, Syifa semakin bersemangat untuk bekerja. Irun akhirnya mau dimasukkan ke pesantren Nurul Iman setelah sekian bulan lamanya dari kelulusan SD, Irun hanya bermain-main di rumah ngalor-ngidul-ngetan-ngulon tidak jelas.
Alhamdulillah, Nduk. Adikmu sekarang masuk ke lingkungan orang sholeh. Pesantren. Semoga dia bisa menjadi anak Sholeh.” Mata Mak Zaitun tampak berkaca-kaca.
Nggih, Mak. Syifa juga turut senang dan bahagia. Ternyata Allah sangat mudah untuk membolak-balikan hati manusia termasuk tole Irun.” tambah Syifa.
Selang beberapa bulan, impian yang memukau itu buyar tersapu badai besar. Irun dikeluarkan dari pesantren, kenakalannya membuat seluruh penghuni pesantren kebakaran jenggot.
Koki pesantren geram, makan siang yang dengan sepenuh hati akan ia hidangkan kepada  para santri, dibubuhi 3 kg garam oleh Irun ketika dapur sepi tidak ada yang menjaga. Tempat tidur teman sekamarnya sering dia basahi dengan air seember. Irun di-black list oleh pesantren, dan dikembalikan ke keluarganya.
٭٭٭
Pupus sudah semua angan, Mak Zaitun dan Syifa kembali diteror oleh tingkah Irun. Entah kapan kenakalan anak itu akan berakhir.
Sing sabar yo, Mak. Gusti Allah bakal maringi dalan. Kula mboten saged mbantu napa-napa.” Mak Saudah mencoba mendinginkan hati Mak Zaitun yang telah cukup bersabar menghadapi tingkah laku Irun.
Opo salahku to? Gusti Allah maringi ujian kaya ngene?
“Istighfar, Mak. Istighfar…..”
Sementara itu, matahari masih semangatnya bersinar, Irun berpetualang ke pusat kota. Sendirian. Dari kejauhan ia melihat ada pesta jajan di lapangan kota. Pengunjung berjejal-jejalan. Dia memasuki keramaian itu. Mata Irun tertuju pada makanan yang berbentuk lingkaran besar dengan berbagai potongan-potongan daging dan sayur yang menawan hatinya. Di stand makanan itu tertulis “PIZZA HOT”.
Kelenjar ludah Irun mulai terangsang untuk mengeluarkan liur. Tapi, di kantong baju Irun tak ada uang serecehpun. Ia tergoda dengan dompet merah muda yang ada di saku celana milik perempuan yang sedang berjalan di depannya. Ia raih dompet itu dengan jurus bayangan. Namun jurusnya masih payah. Alhasil banyak orang yang memergoki. Hampir-hampir bocah berkulit kusam itu jadi bulan-bulanan pengunjung pesta jajan jikalau seorang pemuda berparas bersih tidak segera menjadi pahlawan penolong Irun.
Irun diajak ke tempat kediaman pemuda yang bernama Syafa’. Dilihatkannya sebuah panorama yang berkesan di hati Irun. Rumah sederhana yang memiliki halaman luas penuh pepohonan dengan beraneka ragam mainan anak-anak. Di sana juga banyak anak-anak seusia Irun yang sedang bermain, belajar dan mengaji.
Irun enggan kembali ke rumahnya dan tidak mau menyebutkan kepada Syafa’ dimana alamat rumahnya. Syafa’ tidak bisa memaksa, ia memperbolehkan Irun tinggal di pondok kecil itu. Irun begitu tunduk dengan pemuda yang murah senyum itu. Setiap aktivitas yang Syafa’ lakukan, Irun mengamatinya. Ia kagum dengan kelembutan dari Syafa’. Tanpa sadar, ia juga turut mempraktikan aktivitas yang sering dilakukan Syafa’. Tilawah, membaca buku, memotong rumput di halaman, mengepel, mencuci pakaian bahkan memasak.
٭٭٭
Mak Zaitun dan Syifa kalang kabut. Sudah dua minggu Irun tidak pulang. Ia menanyakan keberadaan Irun ke seluruh tetangganya bahkan ke kampung sebelah. Namun, hasilnya nihil.
Sementara di tempat lain, Irun sedang dilanda bahagia. Ia dan teman-teman di pondok kecil itu diajak Syafa’ untuk bertamasya keliling pegunungan. Syafa’ menyebarkan benih-benih keimanan dalam hati anak-anak. Lewat lisan dan gerak tubuhnya, ia bangkitkan fitrah manusia dalam diri insan-insan kecil di hadapannya.
Irun yang duduk di barisan paling depan, mulai berkaca-kaca hingga akhirnya setetes bulir air di matanya jatuh membasahi bumi. Allah Maha membolak-balikan hati. Kini, Dia benar-benar menetapkan hati Irun, hati seorang bocah yang kering akan pengakuan terhadap ilah-Nya. Anak kecil yang beranjak remaja itu takluk di hadapan Tuhan-Nya. Ia baru teringat akan apa yang telah ia lakukan di masa lampau. Ayahnya, Ibu kandungnya, Mak Zaitun dan kakak tirinya, Syifa. Ia menangis tersedu sedan.
٭٭٭
Dalam guyuran hujan yang sangat rapat, terdengar suara mesin motor di sela-selanya. Remang kedengarannya. Mak Zaitun dan Syifa saling menatap dengan wajah bertanya-tanya.
“Siapa, Mak?” tanya Syifa kepada emaknya yang sedang menjahit bajunya yang sobek.
“Tidak tahu, Nduk. Coba kau hampiri.”
“Iya, Mak.” Ketukan pintu dan salam bersahutan di balik pintu. Syifa mendekat dan menjawab salam. Seketika itu Syifa memperoleh sesosok tubuh yang sangat dirindukannya. Tatapan Syifa beralih ke sosok pemuda di sebelah Irun. Tanpa mempedulikan apapun, Syifa meraih tubuh Irun. Syifa peluk tubuhnya dengan erat, adik yang telah lama menghilang dari pandangannya kini berada dalam rengkuhannya.
“Emak mana, mbak?” tanya Irun dengan lembut. Syifa terharu mendengarnya. Syifa mempersilakan Irun dan Syafa’ masuk ke surganya. Syifa selalu menancapkan di sanubarinya dengan ungkapan “Baitii Jannatii, Rumahku Surgaku”.

Malam itu, tetesan-tetesan air hujan mengiringi tetesan air mata yang mengalunkan takbir. Semakin deras guyuran hujan, semakin mendalam makna takbir yang dirasakan. Mak Zaitun membayangkan wajah suaminya yang tersenyum. Akhirnya, harapan Pak Karjo akan keberkahan nama anaknya dapat terwujud. Khoirunnas. Sebaik-baik manusia.

"Khoirunnas anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar