Pagi
itu beribu-ribu mahasiswa muda beranjak dari kos yang selama satu setengah
bulan ini membersamai perjuangan mereka. Perjuangan melawan kerinduan kepada
keluarga yang dicintai. Perantauan memang tantangan baru bagi sebagian besar
mereka. Kampus hijau Universitas Negeri Semarang ini akan menjadi sahabat baru
bagi kehidupan manusia yang tergugah atau terpaksa meraup ilmu yang lebih
banyak di bangku kuliah. Udara kampus yang sejuk mengiringi langkah kaki mereka
ke Auditorium, di sana akan digelar studium general pengambil mata kuliah umum
pendidikan agama islam.
Auditorium
kala itu dipenuhi pelangi kain. Seketika ruangan menjadi lautan manusia. Di
pojok belakang kanan ruangan, bercakaplah dua orang cowok.
“Hai,
Boy. Lo berangkat juga?” tanya seseorang berjumper biru tua bertuliskan Rangga
di bagian dada sebelah kanan kepada cowok yang baru saja duduk di sebelahnya.
“Eh
Lo, Rangga. Iya nih, niatnya sih searching
logistik, biasanya acara gede kayak gini ada snacknya kan? Lumayan kan Boy,
bisa menghemat. Tapi talihat di meja presensi ngga ada. Haaiish!!”
“Halah,
lo dari kecil sampai sekarang tetep gitu aja. Gue suka gaya lo. Hahaha, Gilang,
Gilang…..” Rangga dan Gilang hanyut dalam percakapan yang tidak berujung dan
berhenti kala MC mulai menganyunkan suara di depan microphone dengan suara yang menggelegar penuh semangat.
Di
akhir acara, semua peserta berkumpul dengan mentor –asisten PAI kegiatan
mentoring- di kelompoknya masing-masing. Rangga dan Gilang berhimpun di satu
kelompok, bersama teman-teman yang lain dari enam fakultas berbeda. Haikal dari
FIP. Adit dari FMIPA. Billy dari FE. Syarif dari FT. Jono dari FIS. Buntar Simanjuntak
dari FH. Rangga dan Gilang masing-masing berasal dari FBS dan FIK. Dari sinilah
lukisan kisah baru dalam sejarah mereka akan dimulai. Dalam lingkaran yang
rapat itu, duduk bersama mereka seorang pemuda berbaju putih dan berparas teduh.
Mas Ridwan. Kehadirannya akan menjadi pelengkap cerita dalam sejarah mereka berdelapan
yang tidak akan pernah terlupa hingga akhir hayat. Di awal pertemuan ini,
mereka saling berkenalan satu sama lain. Mulai dari nama, asal kota, tanggal
lahir, hobi, cita-cita, hal-hal yang disukai dan tidak disukai hingga karakter
pribadi. Tidak lain supaya proses ta’aruf
ini dapat menjadi pondasi ukhuwah islamiyah yang kuat bagi mereka.
▒ ▒ ▒
Langit
hari ini begitu muram. Seakan-akan ia sangat sedih dan ingin meluapkan
tangisannya ke bumi. Namun sepertinya ikatan dua atom hidrogen dan satu atom
oksigen itu masih bisa ditahan untuk tetap berada di awan. Rangga masih sibuk
dengan skateboard miliknya. Mengilaukan
bagian-bagian deck yang ia rasa
terlihat masih kotor tertempeli debu akibat dipakai seharian kemarin. Mengelap griptape dengan kain yang sudah dicelupi
air hangat sedikit. Sore ini seharusnya ada jadwal mentoring bersama tujuh
teman lainnya, tapi ia tak bergairah menghadirinya.
Selesai
bercengkerama dengan skateboardnya,
ia beralih interaksi dengan blackberry
pemberian papanya dan memencet tombol call
di kontak Gilang.
“Haiii,
Boy. Yuuuk kita ke tempat biasa.” Ajak Rangga
“Bukannya
sore ini kita mentoring perdana ya, Boy? Lo ga mau berangkat?” Gilang terheran.
“Halaah,
ngga usah lah. Apa sih enaknya? Cuma duduk ndengerin ceramah doang, Boy. Boring. Mendingan kita skating. Gimana?” kilah Rangga.
“Wah,
Boy! Jadi setan lo, hehe. Yaaa lah, gue juga agak males nih. Ketemuan di taman
rektorat ya jam empat. Mentoringnya di MUA kan? So, ngga bakal ketemu mereka
dah.” Terang Gilang
“Okelah.
Siip. Cerdas lo, Boy.”
Rangga
memang anak perantau asal ibu kota yang begitu dimanja. Keluarganya yang kaya
raya menghadirkan berjuta kenikmatan dunia bagi dirinya. Mau apapun tinggal
mengucapkan mantra di hadapan para pelayan, dalam sekejap cling cling! langsung
tersedia di hadapan mata. Setiap pekan rekening tabungannya bertambah tiga
juta! tak pernah ia mengalami sesak napas karena kanker (kantong kering).
Tinggal menyedot uang dengan kartu ATMnya saja, sreeeet, lembaran-lembaran
merah itu langsung keluar dari mesinnya. Bergeser 160 derajat, Gilang hanyalah
putra dari keluarga sederhana. Kiriman dari keluarganya sering macet. Supaya
menghemat pengeluaran biasanya Gilang hanya nongkrong di kucingan, kecuali
kalau ada rezeki datang barulah ia mampu memenuhi status kebutuhan gizinya.
Traktiran.
Mereka
berdua bersahabat sejak kecil. Meski berasal dari latar belakang yang sangat
berbeda, mereka senantiasa saling melengkapi. Hanya saja ada satu hal yang
kurang dari mereka, sentuhan islami. Pergaulan mereka kering akan nilai-nilai ilahiah.
▒ ▒ ▒
Di
jalanan taman rektorat itu, Rangga dan Gilang asyik berskating. Bergerombol dengan skateboarder
yang lain. Mereka saling menunjukkan kepiawaian dalam memainkan skateboard di bawah kendali tubuhnya
terutama kaki. Keseimbangan tubuh di atas skateboard
sangat dibutuhkan, supaya ia tetap meluncur dengan baik. Komunitas skateboard ini memang tidak sedikit
menorehkan prestasi. Para anggotanya sering memenangkan ajang perlombaan di
berbagai kesempatan.
Selagi
Gilang asyik dengan papan kesayangannya, Rangga terpaku. Dari kejauhan tampak
sekelompok manusia yang tak asing baginya. Waduw! Mereka teman-teman mentoring
Rangga!
“Woy,
Boy. Gilang! Kata lo, temen-temen mentoringnya di MUA. Malah mereka jalan-jalan
ke sini?” teriak Rangga. Gilang menghentikan laju wheelnya. Teman-teman mentoringnya semakin mendekat kepada mereka
berdua. Keduanya nyengir kuda.
“Bener,
Boy. Lo dapat sms juga kan kalau mentoringnya di MUA? Kenapa mereka ke sini?”
Bisik Gilang kepada Rangga dengan tetap memasang wajah ‘mengapa’ dan membalas
tatapan lekat dari Mas Ridwan dan kawan-kawan yang kini hanya berjarak dua
meter dengan mereka berdua.
“Mentoring
yuk,” ajak Mas Ridwan kepada keduanya. Kawan komunitas Rangga ada yang
menceletuk keras, “dah sana mentoring dulu, Boy! Yar alim. Hahahahaha”
“Hehe,
Mas Ridwan. Kok ke sini Mas?” tanya Gilang.
“Ya,
memang rencananya mentoring di bawah tugu sutera. Tetapi, Mas ngundang kalian
di MUA dulu. Terus jalan bareng-bareng ke sini sambil ngobrol. Mas kira kalian
ngga bakal berangkat jadi kami tinggal. Eh, ternyata kalian berdua sudah di
sini duluan. Masyaa Allah. Afwan, jadi menunggu lama ya?”
“Ow,
hehehe.” Gilang makin salah tingkah.
Kedua
bola mata Rangga melirik ke sepasang mata Gilang. Gleekk, mereka berdua hanya
bisa menelan ludah. Mau tidak mau mereka harus menerima ajakan Mas Ridwan.
Melingkarlah mereka di bawah tugu Unnes Sutera. Siluet senja yang mengintip
dari tiga pohon akasia yang berjajar menyinari majelis ilmu itu. Tiga burung
perkutut meloncat dari satu tempat ke tempat yang lain di sekitar majelis itu.
Indah. Meskipun demikian, di dalam majelis itu masih ada dua anak Adam yang
terlihat tidak menikmati serangkaian acara, namun Allah tetap akan memberikan
pahala kepada semuanya. Begitulah islam. Banyak pahala mudah dicari, namun
sedikit saja yang mau mengejar Allah. Padahal ketika kita mendekat kepadaNya
dengan berjalan, Dia akan mengejar kepada kita dengan berlari.
Mas
Ridwan dengan tulus memberikan nasihat dan motivasi kepada semua mentee. Di
mentoring perdana, dia berusaha membangun keterikatan hati dengan para mentee. Mencoba
meraba-raba titik persamaan dan kemampuan mempertemukan muara yang sama dari
aliran sungai yang berbeda itu butuh pengalaman dengan jam terbang yang tinggi,
kepekaan yang mendalam.
▒ ▒ ▒
Pertemuan
demi pertemuan mentoring berlalu. Rangga dan Gilang selalu berusaha untuk
membolos, namun skenario Allah berkata lain. Selalu saja Mas Ridwan dan enam
teman satu mentoringnya datang di manapun mereka berada. Lagi-lagi Mas Ridwan
minta janjian di tempat X, tetapi pindah ke tempat Y di mana Rangga dan Gilang
berada. Selalu begitu. Pernah ditemui di tempat futsal, GPP (gazebo
perpustakaan pusat), embung, maupun bukit cinta di salah satu fakultas tapi Mas
Ridwan biasa menamainya bukit ukhuwah.
“Lang,
gue bener-bener males berangkat ke MUA sekarang. Kita makan bareng aja yuk. Gue
traktir.” Ajak Rangga kepada Gilang.
“Traktir?
Mau dooong. Hhmm, tapi sayang, Ngga. Kalau kita ngga berangkat mentoring sekali
saja. Kata Mas Ridwan bakal seperti puzzle yang ngga utuh, bolong-bolong.
Ngga bakal menjadi gambar yang indah. Kata Mas Ridwan, Allah akan mendatangkan
para malaikat dalam majelis yang dibacakan ayat-ayat cintaNya dan mengamini
do’a-do’a manusia yang ada di majelis itu.”
“Haiish!
Lama-lama lo jadi ustadz. Jadi, mau ngga nih gue traktir?”
“Hhhmm,
gimana ya? lapeeer banget siih perut gue. Oke deh. Cabut!” akhirnya Gilang
kalah dengan hawa nafsunya. Ia merelakan tidak menghadiri mentoring hanya
karena sepiring nasi dan segelas minuman! Syetan memang selalu akan menggoda
manusia untuk dijauhkan dari ketaqwaan. Seberapa kuatkah manusia dalam
memenangkan iman dalam dirinya?
Rangga
dan Gilang memilih warung lesehan sebagai tempat menafkahi perut keduanya. Sambil
menanti pesanan, mereka asyik ngobrol. Biasanya mereka ngobrolin skateboard, tapi kali ini mereka sibuk
membicarakan karakter teman-teman satu mentoringnya. Tumben sekali mereka mau
menilai orang lain. Mulailah mereka menilai satu per satu.
“Menurut
gue, Adit itu cerdas sih. Tapi kadang sok tahu gitu. Ngeluarin rumus-rumus GJ
kalau berpendapat di mentoring.” Terang Gilang.
“Ya,
gue sepakat. Tapi gue paling suka ma Si Buntar dari Batak itu. Paham banget
sama hukum. Kalau Papa gue tahu ada anak kayak gitu, bakal langsung dijadiin
konsultan hukum. Sueer deh. Hahaha…”
“Hai,
Boy! Jangan lupain tu si Jono. Ngga kalah canggih. Jawanese buanget! Haha…,
tapi Boy, dia tu supel banget, dari mereka berenam, cuma si Jono yang mau
berinteraksi dengan kita. Jarang banget kan ada yang mau pedekate ma
orang-orang kayak kita.” Jelas Gilang.
“Siapa
lagi Boy? Teman mentoring kita?” tanya Rangga.
“Dua
lagi siapa ya?” Gilang balik tanya.
“What? Dua? Tiga kaleee.” Rangga
mengoreksi.
“Oh
ya, tiga. Ada Syarif, Billy dan Haikal.” Jelas Gilang.
“Gimana,
Boy? Mereka tu gimana menurut lo?”
“Waah,
kurang tahu banget sih.”
“Payah
lo, Boy. Kalau Billy tu yang bendahara mentoring kita tuh. Yaaa sukanya narikin
infaq! Iuran faqsa! Hahaha… sabar banget dah narikin infaq ke kita-kita” Rangga
terkekeh dan melanjutkan analisis pribadinya, “kalau Haikal itu hobi banget
mengamati kita-kita. Lirikan matanya tajem banget, setajam silet! Hahaha…
pantes banget dia masuk Psikologi. Sering ngasih kita kejutan-kejutan aneh di
mentoring. Gila!.. Nih nih Boy, satu lagi, yang terakhir si Syarif. Kalemnya
luar biasa. Sampai-sampai kita jarang lihat dia tertawa, bisanya cuma bisa
senyum, he, tipis banget lagi. Hahaha. Ditambah lagi kalau ketemu sama cewek,
nunduuuuuk terus. Lagi nyari recehan jatuh di bawah kali ya?? hehehe… untungnya
ngga pernah nabrak tiang listrik! Bisa benjut tuh jidat!!”
Gilang
hanya bisa memandang Rangga dengan wajah ‘mengapa’nya lagi.
“Woi,
Boy!! Napa lo mandang gue kaya gitu?” tanya Rangga.
“Ngga
kenapa-napa. Heran aja. Sejak sahabatan sama lo dari kecil, lo ngga pernah
merhatiin orang. Dulu cuek bebek banget. Sekarang malah lo paham banget ma
teman-teman mentoring kita. Sampai sedetail itu, gue aja ngga gitu-gitu banget.
Apa mentoring sudah mempengaruhi lo jadi orang yang makin berusaha memahami
orang lain ya?’
“Apa
sih lo kata!! Sudahlah, tu makanannya sudah datang. Santap, Boy!” kilah Rangga.
Gilang
masih menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia menemukan ada perubahan dalam
diri Rangga, walau sangat kecil tetapi sangat berbeda.
“Assalamu’alaykum,
yaa Ikhwahfillah….,” sebuah gelombang suara Mas Ridwan memecahkan konsentrasi
Rangga dan Gilang yang masih asyik dengan lele bakarnya.
“Wa’alaykumussalam…”
Rangga dan Gilang menjawab salam hampir bersamaan, “eh Mas Ridwan…. Hehee… ada
Syarif dkk juga… hehehe. Kok bisa sampai sini, Mas? hehe” Gilang mengernyitkan
dahi.
“Alhamdulillah,
medan magnet kita begitu kuat. Kutub-kutub yang berlawanan saling melekat satu
sama lain dengan kuat. Lagi-lagi kalian menanti kami ya? masya allah” Adit menanggapi pernyataan Gilang yang terakhir.
Alhasil
di senin sore itu, mereka kembali melingkar di tempat berbeda, warung lesehan. Sembari
menanti waktu berbuka bagi yang menjalankan puasa sunah. Duduk dalam majelis
mentoring yang rapat. Tilawah, kultum, taujih, diskusi, mutaba’ah, dan do’a
penutup.
▒ ▒ ▒
“Ya,
Mak. Yaa, Gilang mengerti, Mak. Iya. Wa’alaykumussalam.” Gilang menutup telepon
dari emaknya. Emak Gilang menyampaikan kalau perusahaan keluarga besar Rangga
mengalami kebangkrutan karena tertipu oleh pihak asing yang melakukan kerja
sama dalam proyek yang bernilai trilyunan rupiah. Semua aset dan saham tak ada
satupun yang mereka kuasai. Tidak tersisa. Kini, kedua orangtua Rangga
sementara menumpang di rumah Emak Gilang. Gilang diminta untuk menjaga berita
ini terlebih dahulu untuk sementara waktu dan tidak menyampaikan ke Rangga
karena dapat menyebabkan sahabatnya shock.
Artinya, Rangga kini bukan lagi tuan raja yang dapat menyentuh benda di
sekitarnya menjadi emas. Sekarang rangga hanyalah mahasiswa pada umumnya, yang
harus berjuang keras mencari penghasilan dengan caranya sendiri. Dan selama sembilan
belas tahun ini, Rangga belum pernah mengalaminya walau hanya sekadar
iseng-iseng saja.
Gilang
bingung bukan kepalang. Kepada siapa ia harus mengadukan hal ini? Harus menjaga
rahasia yang menimpa pada keluarga dari sahabatnya sendiri? Tapi Gilang butuh
orang yang mampu memberikan saran-saran kepadanya. Ya, Gilang akan menceritakan
hal ini kepada Mas Ridwan, sepertinya Mas Ridwan dapat memberikan solusi.
Gilang sudah tsiqah dengan Mas
Ridwan. Mungkin akan ada nasihat yang bagus untuk dirinya. Ya, apalagi sore ini
ada jadwal mentoring. Mungkin seusai mentoring, Gilang bisa meminta waktu
sedikit kepada Mas Ridwan untuk mendengarkan permasalahan yang menimpa Rangga.
Tok
tok tok. . . , tok tok tok. . . pintu
kamar kos Gilang diketuk seseorang. Kamar Gilang langsung terhubung dengan
teras, kos yang kecil dan sederhana.
“Yaaa
masuk, tidak dikunci.” Teriak Gilang.
Ckreeek…
pintu terbuka. Rangga muncul di balik pintu.
“Pagi,
Boy!!! Sorry, nggangguin lo nih
pagi-pagi. Gue mau ngajak lo ke skateboarding
day hari ini. Gue ndaftar ajang lomba skateboard. Lo wajib nonton gue ya,
gue daftar di kelas freestyle skating,
keren Boy! bakal banyak gaya yang bakal gue tunjukin dan memukau dewan juri! Flatground Ollie, the Ollie kickflip, the
healflip, 360 flip, short noses, slide rails, dan gue mau
nunjukin large soft wheels!!! Keren
banget pastinya, Boy!!! lo wajib nonton! Sekarang lo ganti baju dan berangkat
sama gue! Ayo, Boy!” Rangga begitu menggebu-gebu. Keoptimisannya dalam
memenangkan lomba sangatlah besar. Dia tidak empat lima kali ini mengikuti
ajang sejenis, tapi puluhan kali! Sejak SMA dia sudah dikenal sebagai pemain skater yang ulung. Mulai belajar skate dari SD kelas 6 dan terus diasah
kemampuannya pada waktu SMP hingga sekarang ini.
Gilang
semakin bingung. Padahal sore ini dia bermaksud meminta pendapat secara
langsung dari Mas Ridwan. Dengan gagap akhirnya Gilang berani berkata,
“Hmm,
Hhmm… Rangga, bu bu bukannya kita ada…. Ada… ada mentoring ya?” ragu-ragu
Gilang mengucapkan hal itu.
“Apa?!
Mentoring! Ngga banget deh. Ayolah ikutan gue aja. Lo ngrelain sahabat lo ini
berjuang sendirian. Gue butuh lo Lang wat nyupport gue di sana! Ini kesempatan
emas buat gue untuk membuktikan latihan gue selama ini!” Rangga mulai naik
pitam.
“Ma’af,
Ngga. Kali ini gue milih berangkat mentoring aja. Ma’af.” Gilang menundukkan
wajah. Kemarahan Rangga hampir saja menggerakkan tangannya untuk menghantamkan
kepalan tangannya ke kepala Gilang, tapi tertahan di udara. Rangga hanya bisa
meremas kedua tangannya makin kuat, dan mengalihkan energi kepalannya ke arah
cermin di dekatnya hingga hancur berkeping-keping. Pyaarr!! Rangga melenggang
ke luar kamar Gilang dan menutup pintu dari luar dengan sangat keras.
Braaakkk!!
“Ma’afin
gue, Ngga. Gue ngga bermaksud merusak persahabatan kita. Gue ngga bisa
nyeritain kondisi keluarga lo sekarang ini ke lo. Ma’af, Ngga. Ma’af. Ma’af.” Buliran
bening menetes dari tepi indra penglihatan Gilang dan dua buliran jatuh ke
pecahan cermin di dekat Gilang.
Di
keramaian skate park, Rangga duduk
dengan tatapan kosong. Dia menyesal atas apa yang sudah dia lakukan di kamar
Gilang. Tak seharusnya dia marah-marah seperti itu. Tapi, Rangga masih memendam
kekesalan yang sangat dalam. Mas Ridwan yang selama ini menghantui kehidupannya
lewat mentoring, dia jadikan kambing hitam. Ya, Mas Ridwan sudah berhasil
memisahkan persahabatan mereka berdua. Pikirnya. Gilang kini berani memilih
ikut mentoring daripada menemani temannya di ajang bergengsi ini. Jahat,
pikirnya.
“Yaa,
selanjutnya…! Kita panggil peserta freestyle
skating berikutnya dengan nomor urut TIGA!!!” suara dari pengeras suara
menggema, “Yaaa nomor urut TIGA!! Kami panggil lagi nomor urut TIGA!!! Segera
mendatangi arena!!!”
Seketika
Rangga terbangun dari lamunannya. Dia bergegas menuju arena. Satu per satu gaya
dia atraksikan dengan baik. Dan saat dia akan melakukan 360 flip, hal yang tidak diinginkan itu
terjadi. Brrruuk!!! Tubuh Rangga tersungkur. Jatuh dari ketinggian empat meter
dengan sangat keras. Ternyata axle nuts
pada skateboard Rangga terlepas. Wheels
bagian tail lari menggelinding ke
luar arena. Rangga mengerang kesakitan dan tidak bisa bangun. Ambulance datang dan menghantarkannya ke
rumah sakit terdekat.
▒ ▒ ▒
Orangtua
Rangga menunggui buah hatinya siang malam. Gilang juga sering menjenguk
sahabatnya. Kondisi Rangga sangat memprihatinkan, kedua kaki Rangga harus digips, dan selama lima bulan ke depan
harus menjalani fisioterapi. Bersyukur daerah kepalanya tidak mengalami
benturan yang berarti. Hanya sedikit memar.
Di
luar kamar perawatan, orangtua Rangga berdiskusi dengan Gilang.
“Dik
Gilang, Ibu berterima kasih, kamu sudah menemani Rangga selama ini. Terima
kasih, terima kasih.” Mama Rangga bercucuran air mata, Papa Rangga hanya bisa menenangkan
istri yang ia cintai dengan merangkulnya.
“Iya,
Bu. Gilang juga minta ma’af atas apa yang terjadi pada Rangga.” Terang Gilang,
“Oh iya, Bu. Untuk biaya perawatan Rangga biar Gilang yang mengusahakan.”
“Tidak,
dik. Nanti Ibu dan Bapak Rangga akan mencarikan pinjaman. Gilang fokus kuliah
saja.” Mama Rangga kembali sesunggukan.
Tidak
selang berapa lama, Mas Ridwan dan keenam teman mentoring Gilang datang dari
arah pintu masuk ruang Anggrek. Menghampiri Gilang, Mama dan Papa Rangga.
“Assalamu’alaykum,
Pak, Bu, Gilang….” Sapa Mas Ridwan.
“Wa’alaykumussalam…”
Jawab mereka bertiga sacara bersamaan.
“Kami
teman-teman Rangga di mentoring kampus Unnes, Bu. Bagaimana kabar Rangga, Bu?”
Tanya Mas Ridwan kepada Mama Rangga.
“Sudah
agak baikan kata dokter,” jawab Mama Rangga.
“Oh
begitu, Alhamdulillah. Begini, Bu. Insya Allah pekan ini ada kuliah ahad pagi
atau KAP. Insya allah, saya akan
meminta tolong kepada ketua KAP untuk menggalang dana dari para panitia dan
peserta untuk membantu pengobatan Rangga. Semoga bisa membantu meringankan
beban Bapak dan Ibu sekeluarga.” Mas Ridwan dengan lembut menuturkan tentang
berbagai hal aktivitas yang sudah Rangga lakukan bersama teman-teman yang lain
saat mentoring. Mas Ridwan juga menjelaskan perkembangan Rangga selama ini.
Mama Rangga sangat berbahagia akan hal itu.
“Mas
Ridwan, terima kasih sekali. Selama ini kami berdua memang sangat jarang mendidik
Rangga dengan nilai-nilai islami. Kami hanya memenuhi kebutuhan fisiknya saja.
Kami sering meninggalkan dia di rumah dengan para pembantu. Kami baru tersadar
setelah Allah menegur kami dengan kebangkrutan di perusahaan dan bertempat
tinggal di rumah Ibunya Gilang. Tetangga baru Bu Gilang sangat baik hati,
setiap hari mendatangi rumah untuk memberikan bingkisan walau hanya semangkok
sop. Lewatnya pula kami bisa mengenal islam dengan baik. Sungguh, kami berdua
sangat menyesal. Dan baru kali ini kami berdua, Ibu dan Bapak Rangga, tersadar
bahwa Islam memang harus dijadikan jalan hidup di dunia.” Mama Rangga semakin
terisak. Papa rangga juga mulai terhanyut suasana. Menitikkan air mata.
“Ya,
bu. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan rahmat kepada kita semua,
khususnya keluarga Ibu.” Senyum Mas Ridwan mengembang.
“Aamiin….”
Semua yang hadir di sana mengamini do’a Mas Ridwan. Dan seolah malaikat
pengawas juga mengamini do’anya. Rumah sakit HARAPAN UMAT itu menjadi saksi
akan keterikatan jalinan ukhuwah islamiyah antar muslim yang sebelumnya tidak
saling mengenal sama sekali. Dengan ikatan akidah, semuanya begitu dekat. Takaful itu sudah menjelma di kehidupan
nyata mereka. Merasa senasib sepenanggungan.
▒ ▒ ▒
Sudah
satu bulan Rangga menjalani fisioterapi. Tapi dia masih harus mengenakan kursi
roda. Kecelakaan di arena skateboard
itu membuat dia larut dalam renungan selama perawatan. Keterbatasan gerak tubuh
menggiringnya untuk lebih banyak menggerakkan saraf-saraf otaknya untuk
aktivitas berfikir. Mas Ridwan selalu membawakan buku-buku islami yang sangat
menarik kepada Rangga setiap kali menjenguk. Terpaksa Rangga harus melahap isi
buku-buku itu selain mengonsumsi obat-obat yang super pahit tiga kali sehari. Gilang,
Syarif, Billy, Adit, Buntar, Jono dan Haikal bergantian menemani Rangga di
rumah sakit. Dalam menjaga Rangga, mereka membagi jadwal dalam tiga shift.
Shift satu dari pagi hingga dzuhur, shift dua dari dzuhur sampai menjelang
magrib dan shift tiga dari magrib hingga shubuh. Mereka juga mengadakan
mentoring setiap pekannya di sana. Dan kali ini Rangga tidak bisa membolos, dan
memang kini dia sudah merelakan diri untuk berada di majelis itu selama kurang
lebih satu hingga dua jam tiap pekannya.
Tibalah
hari closing KAP, mereka tidak ingin
melewatkan momen indah ini. Kini semuanya telah tersadar, bahwa mentoring satu
semester ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Tetapi akan terus
berlanjut hingga akhir hayat. Ya. Akan terus bergulir, berganti-ganti mentor.
Bahkan Mas Ridwan pernah menceritakan, bisa saja mentor kalian hari ini bakal
jadi teman mentoring kalian atau jadi mentee kamu di keesokan hari. Tentunya
butuh keistiqomahan. Long life education.
Serangkaian
acara bergulir secara rapi. Panitia sangat menjaga ketat waktu supaya acara closing KAP bisa sukses dan efektif
tanpa ada sedetikpun waktu yang disia-siakan. Di penghujung acara, tiba-tiba MC
memanggil nama Rangga untuk maju ke atas panggung. Sontak dia kaget. Dengan
tetap berada di atas kursi rodanya dia menuju ke panggung ditemani Gilang.
Setelah berada tepat di tengah panggung, MC menyerahkan microphone kepada Rangga. Rangga menerimanya dengan tak lupa
balasan sebuah senyuman tulus yang menyungging di kedua bibirnya kepada MC.
Entah
kenapa, Rangga hendak berusaha berdiri dan menyingkirkan kursi roda dari
jangkauannya. Hal ini mengejutkan seluruh peserta KAP. Gilang langsung membantu
Rangga untuk menopang tubuhnya agar tidak roboh, tapi Rangga menolaknya. Kini
Rangga benar-benar dalam posisi berdiri. Tegap. Ia menghela nafas yang cukup
panjang dan meletakkan microphone
tepat di depan mulutnya. Suasana di ruang auditorium menjadi sangat hening.
Kalaupun ada seekor jangkrik yang mengerik saat itu, pastilah setiap orang di
sudut manapun di ruangan itu mampu mendengarnya. Semua menantikan kata-kata
yang akan meluncur dari mulut Rangga.
“Assalamu’alaykum,
Boys and girls…” Sapa Rangga kepada
semua audien. Bagai lebah yang mengerumuni sarangnya, jawaban salam menggaung
di seantero sudut ruangan.
“Gue
bingung mau bilang apa di depan sini. Gue terlalu ‘keren’ kan berada di depan
sini? Kaki yang digips, dan ditemani
kursi roda ini. Gue ngga pengen lo kasihan sama kondisi gue. Gue, punya
perjalanan hidup yang aneh di kampus ini. Super aneh. Terutama saat bertemu
dengan kalian pertama kali di studium general dulu. Kalian pasti punya cerita
menarik di kelompok mentoring kalian masing-masing. Pun dengan gue. Izinkan gue
ngenalin mentor gue. Mas Ridwan. Bisa berdiri Mas?” Mas Ridwan yang duduk di
barisan depan bagian peserta putra, berdiri dengan malu-malu. Semua pasang mata
yang ada di auditorium tertuju pada sosok pemuda itu. “Nah, dia mentor gue.
Setiap gue mau mbolos mentoring, Mas Ridwan selalu datang di tempat gue berada.
Lo pakai kaca benggala ya, Mas? Hehe. Gue sudah berhasil mbolos satu kali
mentoring, dan akibatnya bisa kalian lihat sekarang ini. Kaki yang artistik.
Bergypsum. Dan setelah itu gue ngga
bisa mbolos lagi karena dipenjara di rumah sakit. Temen-temen mentoring gue
yang njagain gue.”
Rangga
melanjutkan, “Mas Ridwan, lo sekarang pakai baju putih yang sama dengan studium
general dulu. Dan sikap lo masih sama seperti yang dulu. Lo sudah berhasil
membuat gue jadi kaya gini, Boy. Moga aja, mentor-mentor lain bisa kaya lo. Gue
ngga bakal melupakan apa yang telah lo perbuat sama gue. Gilang, Adit, Haikal,
Syarif, Billy, Buntar dan Jono. You are my
best superteam. Kalian sudah mewarnai hidup gue dengan cinta. Cinta kepada
Allah, Rasul dan islam ini. Gue mencintai lo semua karena Allah, Boys. Dengan mentoring, gue bisa makin
keren! Dan lo semua yang ada di ruangan ini juga bakal bisa makin keren!
Asalkan lo istiqomah!!!” Seketika Mas Ridwan menghamburkan diri dari posisinya
semula ke arah Rangga. Mas Ridwan merengkuh tubuh Rangga dalam pelukannya yang
sangat erat. Gilang yang berada di sampingnya turut bergabung dalam pelukan
itu. Dari arah-arah yang lain, Billy, Buntar, Adit, Haikal, Jono dan Syarif juga
lari menuju panggung dan membuat lingkaran pelukan yang lebih besar. Mereka
semua menangis. Peserta juga banyak yang terharu. Peserta putri terlihat banyak
yang mengusapkan jilbabnya ke muka mereka, mengeluarkan tisu dan sapu tangan
dari tasnya. Tak sedikit yang turut berpelukan dengan teman di sebelahnya.
Peserta putra juga ada yang meneteskan butiran bening dari tepi bola matanya.
Di
tengah suasana yang mengharu biru itu, salah satu mentor ikhwan berteriak keras,
“Takbir!!!” Dan semua mentor yang lainnya serentak menjawab, “Allahu akbar!!!”
“Takbir!!!”,
dijawab lagi oleh semua mentor dan mentee di ruangan itu “Allahu akbar!!!”
hingga tiga kali “Takbir!!” dan dijawab lagi “Allahu akbar!!!” Suara takbir itu
menggoncangkan Auditorum. Hari ini sudah lahir sosok-sosok pemuda yang begitu
mencintai Rabbnya, Rasulnya dan agamanya. Membina diri melalui mentoring.
Mentoring bukanlah segala-galanya, tetapi segala-galanya berawal dari
mentoring. Yang keren, yang mentoring.
Sekian
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, karakter, tempat dan sebagainya sorry yaaaa n_n. Semoga bermanfaat. Dilarang menjiplak karya orang lain, hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar