Rabu, 31 Desember 2014

Mentoring Short Story: Gue Makin Keren, Boy!


Pagi itu beribu-ribu mahasiswa muda beranjak dari kos yang selama satu setengah bulan ini membersamai perjuangan mereka. Perjuangan melawan kerinduan kepada keluarga yang dicintai. Perantauan memang tantangan baru bagi sebagian besar mereka. Kampus hijau Universitas Negeri Semarang ini akan menjadi sahabat baru bagi kehidupan manusia yang tergugah atau terpaksa meraup ilmu yang lebih banyak di bangku kuliah. Udara kampus yang sejuk mengiringi langkah kaki mereka ke Auditorium, di sana akan digelar studium general pengambil mata kuliah umum pendidikan agama islam.
Auditorium kala itu dipenuhi pelangi kain. Seketika ruangan menjadi lautan manusia. Di pojok belakang kanan ruangan, bercakaplah dua orang cowok.
“Hai, Boy. Lo berangkat juga?” tanya seseorang berjumper biru tua bertuliskan Rangga di bagian dada sebelah kanan kepada cowok yang baru saja duduk di sebelahnya.
“Eh Lo, Rangga. Iya nih, niatnya sih searching logistik, biasanya acara gede kayak gini ada snacknya kan? Lumayan kan Boy, bisa menghemat. Tapi talihat di meja presensi ngga ada.  Haaiish!!”
“Halah, lo dari kecil sampai sekarang tetep gitu aja. Gue suka gaya lo. Hahaha, Gilang, Gilang…..” Rangga dan Gilang hanyut dalam percakapan yang tidak berujung dan berhenti kala MC mulai menganyunkan suara di depan microphone dengan suara yang menggelegar penuh semangat.
Di akhir acara, semua peserta berkumpul dengan mentor –asisten PAI kegiatan mentoring- di kelompoknya masing-masing. Rangga dan Gilang berhimpun di satu kelompok, bersama teman-teman yang lain dari enam fakultas berbeda. Haikal dari FIP. Adit dari FMIPA. Billy dari FE. Syarif dari FT. Jono dari FIS. Buntar Simanjuntak dari FH. Rangga dan Gilang masing-masing berasal dari FBS dan FIK. Dari sinilah lukisan kisah baru dalam sejarah mereka akan dimulai. Dalam lingkaran yang rapat itu, duduk bersama mereka seorang pemuda berbaju putih dan berparas teduh. Mas Ridwan. Kehadirannya akan menjadi pelengkap cerita dalam sejarah mereka berdelapan yang tidak akan pernah terlupa hingga akhir hayat. Di awal pertemuan ini, mereka saling berkenalan satu sama lain. Mulai dari nama, asal kota, tanggal lahir, hobi, cita-cita, hal-hal yang disukai dan tidak disukai hingga karakter pribadi. Tidak lain supaya proses ta’aruf ini dapat menjadi pondasi ukhuwah islamiyah yang kuat bagi mereka.
▒ ▒ ▒
Langit hari ini begitu muram. Seakan-akan ia sangat sedih dan ingin meluapkan tangisannya ke bumi. Namun sepertinya ikatan dua atom hidrogen dan satu atom oksigen itu masih bisa ditahan untuk tetap berada di awan. Rangga masih sibuk dengan skateboard miliknya. Mengilaukan bagian-bagian deck yang ia rasa terlihat masih kotor tertempeli debu akibat dipakai seharian kemarin. Mengelap griptape dengan kain yang sudah dicelupi air hangat sedikit. Sore ini seharusnya ada jadwal mentoring bersama tujuh teman lainnya, tapi ia tak bergairah menghadirinya.
Selesai bercengkerama dengan skateboardnya, ia beralih interaksi dengan blackberry pemberian papanya dan memencet tombol call di kontak Gilang.
“Haiii, Boy. Yuuuk kita ke tempat biasa.” Ajak Rangga
“Bukannya sore ini kita mentoring perdana ya, Boy? Lo ga mau berangkat?” Gilang terheran.
“Halaah, ngga usah lah. Apa sih enaknya? Cuma duduk ndengerin ceramah doang, Boy. Boring. Mendingan kita skating. Gimana?” kilah Rangga.
“Wah, Boy! Jadi setan lo, hehe. Yaaa lah, gue juga agak males nih. Ketemuan di taman rektorat ya jam empat. Mentoringnya di MUA kan? So, ngga bakal ketemu mereka dah.” Terang Gilang
“Okelah. Siip. Cerdas lo, Boy.”
Rangga memang anak perantau asal ibu kota yang begitu dimanja. Keluarganya yang kaya raya menghadirkan berjuta kenikmatan dunia bagi dirinya. Mau apapun tinggal mengucapkan mantra di hadapan para pelayan, dalam sekejap cling cling! langsung tersedia di hadapan mata. Setiap pekan rekening tabungannya bertambah tiga juta! tak pernah ia mengalami sesak napas karena kanker (kantong kering). Tinggal menyedot uang dengan kartu ATMnya saja, sreeeet, lembaran-lembaran merah itu langsung keluar dari mesinnya. Bergeser 160 derajat, Gilang hanyalah putra dari keluarga sederhana. Kiriman dari keluarganya sering macet. Supaya menghemat pengeluaran biasanya Gilang hanya nongkrong di kucingan, kecuali kalau ada rezeki datang barulah ia mampu memenuhi status kebutuhan gizinya. Traktiran.
Mereka berdua bersahabat sejak kecil. Meski berasal dari latar belakang yang sangat berbeda, mereka senantiasa saling melengkapi. Hanya saja ada satu hal yang kurang dari mereka, sentuhan islami. Pergaulan mereka kering akan nilai-nilai ilahiah.
▒ ▒ ▒
Di jalanan taman rektorat itu, Rangga dan Gilang asyik berskating. Bergerombol dengan skateboarder yang lain. Mereka saling menunjukkan kepiawaian dalam memainkan skateboard di bawah kendali tubuhnya terutama kaki. Keseimbangan tubuh di atas skateboard sangat dibutuhkan, supaya ia tetap meluncur dengan baik. Komunitas skateboard ini memang tidak sedikit menorehkan prestasi. Para anggotanya sering memenangkan ajang perlombaan di berbagai kesempatan.
Selagi Gilang asyik dengan papan kesayangannya, Rangga terpaku. Dari kejauhan tampak sekelompok manusia yang tak asing baginya. Waduw! Mereka teman-teman mentoring Rangga!
“Woy, Boy. Gilang! Kata lo, temen-temen mentoringnya di MUA. Malah mereka jalan-jalan ke sini?” teriak Rangga. Gilang menghentikan laju wheelnya. Teman-teman mentoringnya semakin mendekat kepada mereka berdua. Keduanya nyengir kuda.
“Bener, Boy. Lo dapat sms juga kan kalau mentoringnya di MUA? Kenapa mereka ke sini?” Bisik Gilang kepada Rangga dengan tetap memasang wajah ‘mengapa’ dan membalas tatapan lekat dari Mas Ridwan dan kawan-kawan yang kini hanya berjarak dua meter dengan mereka berdua.
“Mentoring yuk,” ajak Mas Ridwan kepada keduanya. Kawan komunitas Rangga ada yang menceletuk keras, “dah sana mentoring dulu, Boy! Yar alim. Hahahahaha”
“Hehe, Mas Ridwan. Kok ke sini Mas?” tanya Gilang.
“Ya, memang rencananya mentoring di bawah tugu sutera. Tetapi, Mas ngundang kalian di MUA dulu. Terus jalan bareng-bareng ke sini sambil ngobrol. Mas kira kalian ngga bakal berangkat jadi kami tinggal. Eh, ternyata kalian berdua sudah di sini duluan. Masyaa Allah. Afwan, jadi menunggu lama ya?”
“Ow, hehehe.” Gilang makin salah tingkah.
Kedua bola mata Rangga melirik ke sepasang mata Gilang. Gleekk, mereka berdua hanya bisa menelan ludah. Mau tidak mau mereka harus menerima ajakan Mas Ridwan. Melingkarlah mereka di bawah tugu Unnes Sutera. Siluet senja yang mengintip dari tiga pohon akasia yang berjajar menyinari majelis ilmu itu. Tiga burung perkutut meloncat dari satu tempat ke tempat yang lain di sekitar majelis itu. Indah. Meskipun demikian, di dalam majelis itu masih ada dua anak Adam yang terlihat tidak menikmati serangkaian acara, namun Allah tetap akan memberikan pahala kepada semuanya. Begitulah islam. Banyak pahala mudah dicari, namun sedikit saja yang mau mengejar Allah. Padahal ketika kita mendekat kepadaNya dengan berjalan, Dia akan mengejar kepada kita dengan berlari.
Mas Ridwan dengan tulus memberikan nasihat dan motivasi kepada semua mentee. Di mentoring perdana, dia berusaha membangun keterikatan hati dengan para mentee. Mencoba meraba-raba titik persamaan dan kemampuan mempertemukan muara yang sama dari aliran sungai yang berbeda itu butuh pengalaman dengan jam terbang yang tinggi, kepekaan yang mendalam.
▒ ▒ ▒
Pertemuan demi pertemuan mentoring berlalu. Rangga dan Gilang selalu berusaha untuk membolos, namun skenario Allah berkata lain. Selalu saja Mas Ridwan dan enam teman satu mentoringnya datang di manapun mereka berada. Lagi-lagi Mas Ridwan minta janjian di tempat X, tetapi pindah ke tempat Y di mana Rangga dan Gilang berada. Selalu begitu. Pernah ditemui di tempat futsal, GPP (gazebo perpustakaan pusat), embung, maupun bukit cinta di salah satu fakultas tapi Mas Ridwan biasa menamainya bukit ukhuwah.
“Lang, gue bener-bener males berangkat ke MUA sekarang. Kita makan bareng aja yuk. Gue traktir.” Ajak Rangga kepada Gilang.
“Traktir? Mau dooong. Hhmm, tapi sayang, Ngga. Kalau kita ngga berangkat mentoring sekali saja. Kata Mas Ridwan bakal  seperti puzzle yang ngga utuh, bolong-bolong. Ngga bakal menjadi gambar yang indah. Kata Mas Ridwan, Allah akan mendatangkan para malaikat dalam majelis yang dibacakan ayat-ayat cintaNya dan mengamini do’a-do’a manusia yang ada di majelis itu.”
“Haiish! Lama-lama lo jadi ustadz. Jadi, mau ngga nih gue traktir?”
“Hhhmm, gimana ya? lapeeer banget siih perut gue. Oke deh. Cabut!” akhirnya Gilang kalah dengan hawa nafsunya. Ia merelakan tidak menghadiri mentoring hanya karena sepiring nasi dan segelas minuman! Syetan memang selalu akan menggoda manusia untuk dijauhkan dari ketaqwaan. Seberapa kuatkah manusia dalam memenangkan iman dalam dirinya?
Rangga dan Gilang memilih warung lesehan sebagai tempat menafkahi perut keduanya. Sambil menanti pesanan, mereka asyik ngobrol. Biasanya mereka ngobrolin skateboard, tapi kali ini mereka sibuk membicarakan karakter teman-teman satu mentoringnya. Tumben sekali mereka mau menilai orang lain. Mulailah mereka menilai satu per satu.
“Menurut gue, Adit itu cerdas sih. Tapi kadang sok tahu gitu. Ngeluarin rumus-rumus GJ kalau berpendapat di mentoring.” Terang Gilang.
“Ya, gue sepakat. Tapi gue paling suka ma Si Buntar dari Batak itu. Paham banget sama hukum. Kalau Papa gue tahu ada anak kayak gitu, bakal langsung dijadiin konsultan hukum. Sueer deh. Hahaha…”
“Hai, Boy! Jangan lupain tu si Jono. Ngga kalah canggih. Jawanese buanget! Haha…, tapi Boy, dia tu supel banget, dari mereka berenam, cuma si Jono yang mau berinteraksi dengan kita. Jarang banget kan ada yang mau pedekate ma orang-orang kayak kita.” Jelas Gilang.
“Siapa lagi Boy? Teman mentoring kita?” tanya Rangga.
“Dua lagi siapa ya?” Gilang balik tanya.
What? Dua? Tiga kaleee.” Rangga mengoreksi.
“Oh ya, tiga. Ada Syarif, Billy dan Haikal.” Jelas Gilang.
“Gimana, Boy? Mereka tu gimana menurut lo?”
“Waah, kurang tahu banget sih.”
“Payah lo, Boy. Kalau Billy tu yang bendahara mentoring kita tuh. Yaaa sukanya narikin infaq! Iuran faqsa! Hahaha… sabar banget dah narikin infaq ke kita-kita” Rangga terkekeh dan melanjutkan analisis pribadinya, “kalau Haikal itu hobi banget mengamati kita-kita. Lirikan matanya tajem banget, setajam silet! Hahaha… pantes banget dia masuk Psikologi. Sering ngasih kita kejutan-kejutan aneh di mentoring. Gila!.. Nih nih Boy, satu lagi, yang terakhir si Syarif. Kalemnya luar biasa. Sampai-sampai kita jarang lihat dia tertawa, bisanya cuma bisa senyum, he, tipis banget lagi. Hahaha. Ditambah lagi kalau ketemu sama cewek, nunduuuuuk terus. Lagi nyari recehan jatuh di bawah kali ya?? hehehe… untungnya ngga pernah nabrak tiang listrik! Bisa benjut tuh jidat!!”
Gilang hanya bisa memandang Rangga dengan wajah ‘mengapa’nya lagi.
“Woi, Boy!! Napa lo mandang gue kaya gitu?” tanya Rangga.
“Ngga kenapa-napa. Heran aja. Sejak sahabatan sama lo dari kecil, lo ngga pernah merhatiin orang. Dulu cuek bebek banget. Sekarang malah lo paham banget ma teman-teman mentoring kita. Sampai sedetail itu, gue aja ngga gitu-gitu banget. Apa mentoring sudah mempengaruhi lo jadi orang yang makin berusaha memahami orang lain ya?’
“Apa sih lo kata!! Sudahlah, tu makanannya sudah datang. Santap, Boy!” kilah Rangga.
Gilang masih menatap lekat wajah sahabatnya itu. Dia menemukan ada perubahan dalam diri Rangga, walau sangat kecil tetapi sangat berbeda.
“Assalamu’alaykum, yaa Ikhwahfillah….,” sebuah gelombang suara Mas Ridwan memecahkan konsentrasi Rangga dan Gilang yang masih asyik dengan lele bakarnya.
“Wa’alaykumussalam…” Rangga dan Gilang menjawab salam hampir bersamaan, “eh Mas Ridwan…. Hehee… ada Syarif dkk juga… hehehe. Kok bisa sampai sini, Mas? hehe” Gilang mengernyitkan dahi.
“Alhamdulillah, medan magnet kita begitu kuat. Kutub-kutub yang berlawanan saling melekat satu sama lain dengan kuat. Lagi-lagi kalian menanti kami ya? masya allah” Adit menanggapi pernyataan Gilang yang terakhir.
Alhasil di senin sore itu, mereka kembali melingkar di tempat berbeda, warung lesehan. Sembari menanti waktu berbuka bagi yang menjalankan puasa sunah. Duduk dalam majelis mentoring yang rapat. Tilawah, kultum, taujih, diskusi, mutaba’ah, dan do’a penutup.
▒ ▒ ▒
“Ya, Mak. Yaa, Gilang mengerti, Mak. Iya. Wa’alaykumussalam.” Gilang menutup telepon dari emaknya. Emak Gilang menyampaikan kalau perusahaan keluarga besar Rangga mengalami kebangkrutan karena tertipu oleh pihak asing yang melakukan kerja sama dalam proyek yang bernilai trilyunan rupiah. Semua aset dan saham tak ada satupun yang mereka kuasai. Tidak tersisa. Kini, kedua orangtua Rangga sementara menumpang di rumah Emak Gilang. Gilang diminta untuk menjaga berita ini terlebih dahulu untuk sementara waktu dan tidak menyampaikan ke Rangga karena dapat menyebabkan sahabatnya shock. Artinya, Rangga kini bukan lagi tuan raja yang dapat menyentuh benda di sekitarnya menjadi emas. Sekarang rangga hanyalah mahasiswa pada umumnya, yang harus berjuang keras mencari penghasilan dengan caranya sendiri. Dan selama sembilan belas tahun ini, Rangga belum pernah mengalaminya walau hanya sekadar iseng-iseng saja.
Gilang bingung bukan kepalang. Kepada siapa ia harus mengadukan hal ini? Harus menjaga rahasia yang menimpa pada keluarga dari sahabatnya sendiri? Tapi Gilang butuh orang yang mampu memberikan saran-saran kepadanya. Ya, Gilang akan menceritakan hal ini kepada Mas Ridwan, sepertinya Mas Ridwan dapat memberikan solusi. Gilang sudah tsiqah dengan Mas Ridwan. Mungkin akan ada nasihat yang bagus untuk dirinya. Ya, apalagi sore ini ada jadwal mentoring. Mungkin seusai mentoring, Gilang bisa meminta waktu sedikit kepada Mas Ridwan untuk mendengarkan permasalahan yang menimpa Rangga.
Tok tok tok. . . ,  tok tok tok. . . pintu kamar kos Gilang diketuk seseorang. Kamar Gilang langsung terhubung dengan teras, kos yang kecil dan sederhana.
“Yaaa masuk, tidak dikunci.” Teriak Gilang.
Ckreeek… pintu terbuka. Rangga muncul di balik pintu.
“Pagi, Boy!!! Sorry, nggangguin lo nih pagi-pagi. Gue mau ngajak lo ke skateboarding day hari ini. Gue ndaftar ajang lomba skateboard. Lo wajib nonton gue ya, gue daftar di kelas freestyle skating, keren Boy! bakal banyak gaya yang bakal gue tunjukin dan memukau dewan juri! Flatground Ollie, the Ollie kickflip, the healflip, 360 flip, short noses, slide rails, dan gue mau nunjukin large soft wheels!!! Keren banget pastinya, Boy!!! lo wajib nonton! Sekarang lo ganti baju dan berangkat sama gue! Ayo, Boy!” Rangga begitu menggebu-gebu. Keoptimisannya dalam memenangkan lomba sangatlah besar. Dia tidak empat lima kali ini mengikuti ajang sejenis, tapi puluhan kali! Sejak SMA dia sudah dikenal sebagai pemain skater yang ulung. Mulai belajar skate dari SD kelas 6 dan terus diasah kemampuannya pada waktu SMP hingga sekarang ini.
Gilang semakin bingung. Padahal sore ini dia bermaksud meminta pendapat secara langsung dari Mas Ridwan. Dengan gagap akhirnya Gilang berani berkata,
“Hmm, Hhmm… Rangga, bu bu bukannya kita ada…. Ada… ada mentoring ya?” ragu-ragu Gilang mengucapkan hal itu.
“Apa?! Mentoring! Ngga banget deh. Ayolah ikutan gue aja. Lo ngrelain sahabat lo ini berjuang sendirian. Gue butuh lo Lang wat nyupport gue di sana! Ini kesempatan emas buat gue untuk membuktikan latihan gue selama ini!” Rangga mulai naik pitam.
“Ma’af, Ngga. Kali ini gue milih berangkat mentoring aja. Ma’af.” Gilang menundukkan wajah. Kemarahan Rangga hampir saja menggerakkan tangannya untuk menghantamkan kepalan tangannya ke kepala Gilang, tapi tertahan di udara. Rangga hanya bisa meremas kedua tangannya makin kuat, dan mengalihkan energi kepalannya ke arah cermin di dekatnya hingga hancur berkeping-keping. Pyaarr!! Rangga melenggang ke luar kamar Gilang dan menutup pintu dari luar dengan sangat keras. Braaakkk!!
“Ma’afin gue, Ngga. Gue ngga bermaksud merusak persahabatan kita. Gue ngga bisa nyeritain kondisi keluarga lo sekarang ini ke lo. Ma’af, Ngga. Ma’af. Ma’af.” Buliran bening menetes dari tepi indra penglihatan Gilang dan dua buliran jatuh ke pecahan cermin di dekat Gilang.
Di keramaian skate park, Rangga duduk dengan tatapan kosong. Dia menyesal atas apa yang sudah dia lakukan di kamar Gilang. Tak seharusnya dia marah-marah seperti itu. Tapi, Rangga masih memendam kekesalan yang sangat dalam. Mas Ridwan yang selama ini menghantui kehidupannya lewat mentoring, dia jadikan kambing hitam. Ya, Mas Ridwan sudah berhasil memisahkan persahabatan mereka berdua. Pikirnya. Gilang kini berani memilih ikut mentoring daripada menemani temannya di ajang bergengsi ini. Jahat, pikirnya.
“Yaa, selanjutnya…! Kita panggil peserta freestyle skating berikutnya dengan nomor urut TIGA!!!” suara dari pengeras suara menggema, “Yaaa nomor urut TIGA!! Kami panggil lagi nomor urut TIGA!!! Segera mendatangi arena!!!”
Seketika Rangga terbangun dari lamunannya. Dia bergegas menuju arena. Satu per satu gaya dia atraksikan dengan baik. Dan saat dia akan melakukan 360 flip, hal yang tidak diinginkan itu terjadi. Brrruuk!!! Tubuh Rangga tersungkur. Jatuh dari ketinggian empat meter dengan sangat keras. Ternyata axle nuts pada skateboard Rangga terlepas. Wheels bagian tail lari menggelinding ke luar arena. Rangga mengerang kesakitan dan tidak bisa bangun. Ambulance datang dan menghantarkannya ke rumah sakit terdekat.
▒ ▒ ▒
Orangtua Rangga menunggui buah hatinya siang malam. Gilang juga sering menjenguk sahabatnya. Kondisi Rangga sangat memprihatinkan, kedua kaki Rangga harus digips, dan selama lima bulan ke depan harus menjalani fisioterapi. Bersyukur daerah kepalanya tidak mengalami benturan yang berarti. Hanya sedikit memar.
Di luar kamar perawatan, orangtua Rangga berdiskusi dengan Gilang.
“Dik Gilang, Ibu berterima kasih, kamu sudah menemani Rangga selama ini. Terima kasih, terima kasih.” Mama Rangga bercucuran air mata, Papa Rangga hanya bisa menenangkan istri yang ia cintai dengan merangkulnya.
“Iya, Bu. Gilang juga minta ma’af atas apa yang terjadi pada Rangga.” Terang Gilang, “Oh iya, Bu. Untuk biaya perawatan Rangga biar Gilang yang mengusahakan.”
“Tidak, dik. Nanti Ibu dan Bapak Rangga akan mencarikan pinjaman. Gilang fokus kuliah saja.” Mama Rangga kembali sesunggukan.
Tidak selang berapa lama, Mas Ridwan dan keenam teman mentoring Gilang datang dari arah pintu masuk ruang Anggrek. Menghampiri Gilang, Mama dan Papa Rangga.
“Assalamu’alaykum, Pak, Bu, Gilang….” Sapa Mas Ridwan.
“Wa’alaykumussalam…” Jawab mereka bertiga sacara bersamaan.
“Kami teman-teman Rangga di mentoring kampus Unnes, Bu. Bagaimana kabar Rangga, Bu?” Tanya Mas Ridwan kepada Mama Rangga.
“Sudah agak baikan kata dokter,” jawab Mama Rangga.
“Oh begitu, Alhamdulillah. Begini, Bu. Insya Allah pekan ini ada kuliah ahad pagi atau KAP. Insya allah, saya akan meminta tolong kepada ketua KAP untuk menggalang dana dari para panitia dan peserta untuk membantu pengobatan Rangga. Semoga bisa membantu meringankan beban Bapak dan Ibu sekeluarga.” Mas Ridwan dengan lembut menuturkan tentang berbagai hal aktivitas yang sudah Rangga lakukan bersama teman-teman yang lain saat mentoring. Mas Ridwan juga menjelaskan perkembangan Rangga selama ini. Mama Rangga sangat berbahagia akan hal itu.
“Mas Ridwan, terima kasih sekali. Selama ini kami berdua memang sangat jarang mendidik Rangga dengan nilai-nilai islami. Kami hanya memenuhi kebutuhan fisiknya saja. Kami sering meninggalkan dia di rumah dengan para pembantu. Kami baru tersadar setelah Allah menegur kami dengan kebangkrutan di perusahaan dan bertempat tinggal di rumah Ibunya Gilang. Tetangga baru Bu Gilang sangat baik hati, setiap hari mendatangi rumah untuk memberikan bingkisan walau hanya semangkok sop. Lewatnya pula kami bisa mengenal islam dengan baik. Sungguh, kami berdua sangat menyesal. Dan baru kali ini kami berdua, Ibu dan Bapak Rangga, tersadar bahwa Islam memang harus dijadikan jalan hidup di dunia.” Mama Rangga semakin terisak. Papa rangga juga mulai terhanyut suasana. Menitikkan air mata.
“Ya, bu. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan rahmat kepada kita semua, khususnya keluarga Ibu.” Senyum Mas Ridwan mengembang.
“Aamiin….” Semua yang hadir di sana mengamini do’a Mas Ridwan. Dan seolah malaikat pengawas juga mengamini do’anya. Rumah sakit HARAPAN UMAT itu menjadi saksi akan keterikatan jalinan ukhuwah islamiyah antar muslim yang sebelumnya tidak saling mengenal sama sekali. Dengan ikatan akidah, semuanya begitu dekat. Takaful itu sudah menjelma di kehidupan nyata mereka. Merasa senasib sepenanggungan.
▒ ▒ ▒
Sudah satu bulan Rangga menjalani fisioterapi. Tapi dia masih harus mengenakan kursi roda. Kecelakaan di arena skateboard itu membuat dia larut dalam renungan selama perawatan. Keterbatasan gerak tubuh menggiringnya untuk lebih banyak menggerakkan saraf-saraf otaknya untuk aktivitas berfikir. Mas Ridwan selalu membawakan buku-buku islami yang sangat menarik kepada Rangga setiap kali menjenguk. Terpaksa Rangga harus melahap isi buku-buku itu selain mengonsumsi obat-obat yang super pahit tiga kali sehari. Gilang, Syarif, Billy, Adit, Buntar, Jono dan Haikal bergantian menemani Rangga di rumah sakit. Dalam menjaga Rangga, mereka membagi jadwal dalam tiga shift. Shift satu dari pagi hingga dzuhur, shift dua dari dzuhur sampai menjelang magrib dan shift tiga dari magrib hingga shubuh. Mereka juga mengadakan mentoring setiap pekannya di sana. Dan kali ini Rangga tidak bisa membolos, dan memang kini dia sudah merelakan diri untuk berada di majelis itu selama kurang lebih satu hingga dua jam tiap pekannya.
Tibalah hari closing KAP, mereka tidak ingin melewatkan momen indah ini. Kini semuanya telah tersadar, bahwa mentoring satu semester ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Tetapi akan terus berlanjut hingga akhir hayat. Ya. Akan terus bergulir, berganti-ganti mentor. Bahkan Mas Ridwan pernah menceritakan, bisa saja mentor kalian hari ini bakal jadi teman mentoring kalian atau jadi mentee kamu di keesokan hari. Tentunya butuh keistiqomahan. Long life education.
Serangkaian acara bergulir secara rapi. Panitia sangat menjaga ketat waktu supaya acara closing KAP bisa sukses dan efektif tanpa ada sedetikpun waktu yang disia-siakan. Di penghujung acara, tiba-tiba MC memanggil nama Rangga untuk maju ke atas panggung. Sontak dia kaget. Dengan tetap berada di atas kursi rodanya dia menuju ke panggung ditemani Gilang. Setelah berada tepat di tengah panggung, MC menyerahkan microphone kepada Rangga. Rangga menerimanya dengan tak lupa balasan sebuah senyuman tulus yang menyungging di kedua bibirnya kepada MC.
Entah kenapa, Rangga hendak berusaha berdiri dan menyingkirkan kursi roda dari jangkauannya. Hal ini mengejutkan seluruh peserta KAP. Gilang langsung membantu Rangga untuk menopang tubuhnya agar tidak roboh, tapi Rangga menolaknya. Kini Rangga benar-benar dalam posisi berdiri. Tegap. Ia menghela nafas yang cukup panjang dan meletakkan microphone tepat di depan mulutnya. Suasana di ruang auditorium menjadi sangat hening. Kalaupun ada seekor jangkrik yang mengerik saat itu, pastilah setiap orang di sudut manapun di ruangan itu mampu mendengarnya. Semua menantikan kata-kata yang akan meluncur dari mulut Rangga.
“Assalamu’alaykum, Boys and girls…” Sapa Rangga kepada semua audien. Bagai lebah yang mengerumuni sarangnya, jawaban salam menggaung di seantero sudut ruangan.
“Gue bingung mau bilang apa di depan sini. Gue terlalu ‘keren’ kan berada di depan sini? Kaki yang digips, dan ditemani kursi roda ini. Gue ngga pengen lo kasihan sama kondisi gue. Gue, punya perjalanan hidup yang aneh di kampus ini. Super aneh. Terutama saat bertemu dengan kalian pertama kali di studium general dulu. Kalian pasti punya cerita menarik di kelompok mentoring kalian masing-masing. Pun dengan gue. Izinkan gue ngenalin mentor gue. Mas Ridwan. Bisa berdiri Mas?” Mas Ridwan yang duduk di barisan depan bagian peserta putra, berdiri dengan malu-malu. Semua pasang mata yang ada di auditorium tertuju pada sosok pemuda itu. “Nah, dia mentor gue. Setiap gue mau mbolos mentoring, Mas Ridwan selalu datang di tempat gue berada. Lo pakai kaca benggala ya, Mas? Hehe. Gue sudah berhasil mbolos satu kali mentoring, dan akibatnya bisa kalian lihat sekarang ini. Kaki yang artistik. Bergypsum. Dan setelah itu gue ngga bisa mbolos lagi karena dipenjara di rumah sakit. Temen-temen mentoring gue yang njagain gue.”
Rangga melanjutkan, “Mas Ridwan, lo sekarang pakai baju putih yang sama dengan studium general dulu. Dan sikap lo masih sama seperti yang dulu. Lo sudah berhasil membuat gue jadi kaya gini, Boy. Moga aja, mentor-mentor lain bisa kaya lo. Gue ngga bakal melupakan apa yang telah lo perbuat sama gue. Gilang, Adit, Haikal, Syarif, Billy, Buntar dan Jono. You are my best superteam. Kalian sudah mewarnai hidup gue dengan cinta. Cinta kepada Allah, Rasul dan islam ini. Gue mencintai lo semua karena Allah, Boys. Dengan mentoring, gue bisa makin keren! Dan lo semua yang ada di ruangan ini juga bakal bisa makin keren! Asalkan lo istiqomah!!!” Seketika Mas Ridwan menghamburkan diri dari posisinya semula ke arah Rangga. Mas Ridwan merengkuh tubuh Rangga dalam pelukannya yang sangat erat. Gilang yang berada di sampingnya turut bergabung dalam pelukan itu. Dari arah-arah yang lain, Billy, Buntar, Adit, Haikal, Jono dan Syarif juga lari menuju panggung dan membuat lingkaran pelukan yang lebih besar. Mereka semua menangis. Peserta juga banyak yang terharu. Peserta putri terlihat banyak yang mengusapkan jilbabnya ke muka mereka, mengeluarkan tisu dan sapu tangan dari tasnya. Tak sedikit yang turut berpelukan dengan teman di sebelahnya. Peserta putra juga ada yang meneteskan butiran bening dari tepi bola matanya.
Di tengah suasana yang mengharu biru itu, salah satu mentor ikhwan berteriak keras, “Takbir!!!” Dan semua mentor yang lainnya serentak menjawab, “Allahu akbar!!!”
“Takbir!!!”, dijawab lagi oleh semua mentor dan mentee di ruangan itu “Allahu akbar!!!” hingga tiga kali “Takbir!!” dan dijawab lagi “Allahu akbar!!!” Suara takbir itu menggoncangkan Auditorum. Hari ini sudah lahir sosok-sosok pemuda yang begitu mencintai Rabbnya, Rasulnya dan agamanya. Membina diri melalui mentoring. Mentoring bukanlah segala-galanya, tetapi segala-galanya berawal dari mentoring. Yang keren, yang mentoring.


Sekian

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, karakter, tempat dan sebagainya sorry yaaaa n_n. Semoga bermanfaat. Dilarang menjiplak karya orang lain, hehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar