Rabu, 31 Desember 2014

Cahaya Kedua

Lima belas menit sudah aku menunggu sejak pukul 10.00 WIB, akhirnya bus yang akan mengantarkanku ke pekalongan tiba juga. Kulangkahkan kakiku yang lemah ini menuju nomor kursi bus seperti tertera dalam karcis, 26. Inilah kursi yang menjadi hakku sampai aku tiba ke lokasi tujuan. Sengaja kupilih bus patas supaya perjalananku nyaman, tanpa harus mengkhawatirkan adanya asap rokok yang berbaur dengan udara yang aku hirup untuk pernapasan. Di usia kelima puluh satu ini, aku semakin menyanyangi anggota badanku yang fungsinya sudah mulai menurun dimakan waktu. Kan kujaga amanah Allah berupa badan pelekat jiwaku ini.
Semua penumpang telah siap di posisinya masing-masing. Bus mulai melaju pelan dan menambah kecepatannya sedikit demi sedikit. Kupandangi pepohonan di tepi jalan.  Lalu kupindahkan pandanganku ke samping kanan, ada seorang gadis belia yang sibuk dengan buku di tangan kanannya. Ingin kusapa dia, tapi aku takut mengganggu aktivitasnya, sudahlah, kuurungkan saja niatku. Kembali kupandangi pemandangan lewat jendela. Kini kudapati sawah yang terbentang luas lengkap dengan pegunungan di ujungnya.
“Subhanallah, indah ya bu.”
Terdengar suara lembut di telingaku. Ternyata suara itu berasal dari gadis berkulit sawo matang di sampingku. Bola matanya begitu jernih. Bulu matanya lentik. Tangannya terlihat sudah tidak memegang buku.
“Iya nduk, bagus.” Sahutku lumayan kaget.
“Sungguh tiada duanya, semua ciptaan Allah SWT luar biasa. Aku bangga menjadi hambaNya.” Ujarnya dengan lembut ditaburi senyuman indah di bibirnya, sehingga menambah manis parasnya yang biasa itu. 
Mbak sendirian?” Tanyaku.
“Iya, bu.”
“Kuliah nggih?”
“Tidak, bu, masih kelas tiga SMA.” Jawabnya.
“Sekolah di mana, nduk?”
“SMA Negeri 3 Semarang.”
“Owalah, cah pinter iki?” Kagumku.
“Kenapa, bu?”
“Kamu ini pintar ya, nduk?”
“Tidak, bu. Saya tidak pintar. Cuma berusaha menjadi orang pintar.” Senyum malu-malu itu masih melekat erat di wajahnya, Kalau saya boleh tahu, Ibu dari mana dan mau ke mana?”
“Saya baru menghadiri pameran batik karya anak saya di hotel Pandanaran, ini mau pulang ke Pekalongan.”
Perbincangan kami terus berlangsung dan terhenti seketika, begitu ada dentuman keras terdengar di telingaku ini. Oh, mengapa mataku sakit sekali? Dunia berubah, yang dapat kulihat kini hanyalah kegelapan. Dan sepertinya bumi tidak dapat lagi kurasakan kehadirannya.
¤¤¤¤¤
Saraf tanganku merasakan kedinginan, saraf-saraf tubuhku lainnya pun mengikuti. Kubuka kedua belah mataku pelan-pelan dan kupastikan semua benda di sekitarku dapat tertangkap oleh mataku. Betapa terkejutnya aku, ruangan yang kutempati sekarang lebih mirip dengan rumah sakit!
Anam, bukankah itu anam? Iya, tidak salah lagi. Dia anam, anakku, mengapa dia tidur di kursi sudut ruangan ini? Bukankah ia harus mengawasi pamerannya yang berlangsung satu minggu? Apa dentuman keras itu mengakibatkan efek yang luar biasa padaku sehingga anakku harus menjagaku sampai sedemikian rupa?
Dia terbangun dari tidurnya dan berhambur cepat menuju tempat tidurku bak elang menyambar mangsanya. Tatapan matanya berbinar-binar memandangku tanpa henti.  Luapan kebahagiaannya sungguh luar biasa.
“Akhirnya ibu siuman juga.” Suara yang bergetar itu ikut menggetarkan hatiku.
“Ada apa sih, le? Ibu kenapa?”
“Ibu tak sadarkan diri sejak kecelakaan di Alas Roban kemarin. Sopir kehilangan kendali dan bus yang ibu tumpangi terguling ke kiri badan jalan. Kemudian, Ibu dilarikan ke rumah sakit Siti Khadijah.”
“Kecelakaan? Terus bagaimana penumpang yang lain?”
“Alhamdulillah semuanya selamat. Hanya beberapa korban yang luka berat termasuk ibu.”
“Luka berat bagaimana tho, le. Lha ibu jelas-jelas sehat begini kok.”
“Iya, sekarang ibu istirahat dulu saja. Dokter sudah memperbolehkan ibu pulang besok. Tapi, lebih baik pulang lusa saja. Anam mau memastikan kesehatan ibu sudah pulih benar.”
Nggih, cah manangku sing bagus pisan. Terus, bagaimana pameranmu?”
“Tenang, bu. Sudah ada yang menghandle.”
Terima kasih ya allah, Engkau telah menganugerahkan kepadaku anak yang sangat menyanyangiku. Terima kasih suamiku, engkau telah memahatkan cintamu padaku dan pada putramu. Meski kini kau telah mendahuluiku untuk menemuiNya, namun pengabdianku padamu kan terus mengalir melalui do’a, dan kudidik buah hati kita menjadi anak sholeh yang juga kan mengalirkan do’anya padamu tiada henti. Semoga kuburmu dilingkupi cahayaNya. Semoga Allah mempertemukan kita sekeluarga di JannahNya. Amiin.
¤¤¤¤¤
“Apa! Mengapa kamu tidak memberitahukan Ibu perihal ini sejak dulu! Sedangkan kamu juga tidak mengucapkan terima kasih padanya!”  Marahku tak tertahan. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa membalas kebaikan gadis itu? Ia pasti sangat menderita.
“Maafkan anam, bu. Kata dokter, kedua bola mata ibu tertancap oleh serpihan kaca. Jika Ibu tidak segera memperoleh mata donor, ibu akan buta selamanya. Anak perempuan yang mengantarkan ibu langsung menawarkan kedua bola matanya untuk ibu. Namun, ia tidak mau mencamtumkan identitasnya dalam data pendonor. Hanya tulisan ‘Hamba Allah di Bumi Allah’ yang tercantum di sana. Setelah ibu selesai dioperasi, ia langsung pulang ke rumahnya diantar pihak rumah sakit. Anam baru mendapat kabar mengenai Ibu beberapa jam kemudian, untuk mengurus administrasi Ibu.”
Bagaimana aku bisa membalas jasa yang luar biasa ini kepada gadis itu? Kita berdua baru sekali jumpa, namun pengorbanan yang ia lakukan untukku melebihi pengorbanan kerabat dekat, bahkan lebih dari itu. Karena tidak semua kerabat mau menolong saudaranya yang sedang tertimpa kesusahan. Meskipun Allah telah menjanjikan surga kepada orang yang ikhlas memberikan pertolongan kepada saudaranya.
Bagaimana aku bisa menemukannya? Aku harus membalas jasanya! Mata ini adalah matanya. Mata gadis muda. Mata yang jernih, yang tidak semua orang memilikinya. Ini adalah mata yang ia gunakan untuk membaca, melihat fenomena kehidupan. Kini, ia dalam kegelapan. Aku telah mencabut kebahagiaan darinya! Mengapa ia mau melakukan ini?
Air mataku berderai membasahi pipiku yang telah mengerut. Andai sopir itu tidak lepas kendali! Andai tidak ada serpihan kaca yang masuk ke mataku! Ah, aku tidak boleh menyalahkan orang lain atau apapun. Semuanya telah tercatat dalam kitab Lauhul MahfudzNya.
Anam mendekatiku dan mengelus pundakku. Ia berusaha menenangkanku yang larut dalam kesedihan.
“Apa ibu mengetahui sesuatu hal darinya yang bisa menunjukkan kepada kita tentang keberadaannya?” Anam melontarkan pertanyaan yang menggiringku pada peristiwa sebulan yang lalu.
“Entah, daya ingat ibu melemah.”
“Pasti ada kan, bu. Mungkin nama, atau barang-barang yang ia bawa seperti apa?”
“Ibu lupa. Sepertinya ibu tidak sempat menanyakan nama padanya meski kita berdua berbincang cukup lama. Awal melihatnya, ia sedang membaca buku”
“Ibu berbincang dengannya? Coba ibu ingat betul-betul, apa saja yang ia sampaikan kepada ibu.”
“Iya. Ibu akan mencoba.” Aku harus memusatkan konsentrasiku. Aku harus menemukan kata kunci dari sekian kata yang sempat gadis itu ucapkan. Akhirnya ada sebuah titik terang di sana.
“Anam, ibu ingat satu hal.”
“Apa itu, bu?”
“Gadis itu masih sekolah, kelas tiga di SMA N 3 Semarang.”
“Ibu yakin?” Tanya anam agak ragu.
“Iya, ibu yakin betul. Waktu itu ibu bilang padanya kalau ia itu anak pintar. Tapi gadis itu tidak mau mengakui. Padahal jelas-jelas ia sekolah di SMA Favorit, SMAmu dulu, le.”
“Kalau begitu. Sekarang kita ke Semarang, bu. Nanti ke kantor anam dulu. Besoknya kita ke SMA N 3.”
“Iya, le. Semoga Allah mempermudah jalan kita untuk menemukan gadis itu.”
¤¤¤¤¤
Apa yang terjadi tidak sesuai harapan. Manusia harus berikhtiar, namun Allahlah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Awalnya aku menyangka akan segera menemukan gadis itu. Namun, Allah berkehendak lain. Hanya selembar kertas bertuliskan alamat Yayasan Yatim Piatu yang kuperoleh. Di kertas itu juga tertulis nama gadis itu, Faza Nazila. Kepala SMA N 3 tidak mau menjelaskan alasan mengapa Zila mengundurkan diri dari sekolahnya, padahal pihak sekolah akan memberikan keringanan padanya saat Ujian Nasional nanti dengan dibantu pemblokkan jawaban yang ia pilih ke dalam lembar jawab. Namun, Zila menolak.
Aku tak akan menyerah untuk mencarinya. Seperti Zila yang tidak menyerah pada hiruk pikuk kehidupan tanpa didampingi kedua orang tua kandungnya dari entah kapan sampai saat ini, tak ada satupun kaum kerabatnya yang mau merawatnya.
Allah benar-benar menguji kesabaranku. Sesampainya di Yayasan yatim piatu di Kota Kuningan, tempat gadis itu dididik dan dibina, hasilnya nihil. Ia sudah pindah ke Yayasan Tuna netra di Kota Lamongan. Yaa Allah, yaa Rabbku, beri aku kekuatan untuk bisa melanjutkan pencarian ini.
¤¤¤¤¤
Terima kasih Allah, Engkau telah mengabulkan harapanku. Aku percaya bahwa Engkau pasti mengabulkan do’a tiap-tiap hamba-Mu sesuai waktu yang telah Engkau tetapkan.
Mulai kulihat gapura SELAMAT DATANG DI KOTA LAMONGAN hingga memasuki kota itu hatiku berdegup kencang. Entah apa yang terjadi. Degupan itu makin kencang saat kutemukan sebuah gedung dengan plang bertuliskan YAYASAN TUNA NETRA NURUL ‘ILMI. Seorang wanita paruh baya menyambut kami, setelah Anam menjelaskan maksud kami datang ke yayasan ini, wanita itu mengantarkan kami menuju ruangan yang dipenuhi remaja-remaja putri yang sedang belajar huruf Braille. Dan di antara remaja puteri berjilbab hijau muda itu, ada seorang gadis yang kukenali. Zila. Rasa haruku mendesak kelenjar air mata untuk mengeluarkan butiran-butiran jernih. Apa yang kucari kini telah nampak di pelupuk mata.
“Faza nazila…..” isakku seraya kuraih tubuhnya itu.
“Ibu, kok bisa sampai sini? Ada apa?” tanyanya polos. Ia masih mengenali suaraku.
“Aku mencarimu, nduk. Mengapa kamu mau berkorban demi Ibu?” derai air mata ini tak mau berhenti.
“Ibu…. Sudah sepantasnya saya membantu orang yang sedang membutuhkan. Kala itu, Ibu sangat membutuhkan bantuan.” Jelasnya.
“Tapi, kau telah melukai dirimu sendiri, nduk.”
“Zila tidak melukai diri sendiri, bu. Zila malah mengobati diri Zila. Zila semakin peka terhadap kehidupan ini. Zila dapat semakin bersyukur sama Allah. Zila ingin membantu orang lain sesuai kemampuan Zila. Karena kala itu, kemampuan Zila adalah Zila sendiri, jadi kuserahkan anggota tubuh Zila yang dibutuhkan Ibu. Yang kuharapkan hanyalah ridho Allah, bukan selainnya” Terangnya dengan senyum indah yang masih sama seperti pertama kali bertemu dengannya. Manis. Sejuk.
“Terima kasih, nduk. Kau telah berkorban untuk menciptakan cahaya kedua dalam hidup ibu.”
Semua rasa telah tercampur aduk dalam mangkuk jiwaku. Zila telah mengajarkanku-ibu berumur 51 tahun- arti sebuah pengorbanan tanpa pamrih. Semoga Allah membalas amal baikmu dengan Jannah-Nya. Amiin.
Meskipun kuberikan seluruh hartaku untuk Zila, namun tidak akan sanggup melunasi hutangku padanya. Namun, aku berniat untuk membiayai kuliah Zila nanti. Ia pernah mengatakan saat di bus, kalau ia ingin menjadi guru di Sekolah Luar Biasa. Di sekolah itu, ia bisa lebih dekat dengan anak-anak yang memilki keterbatasan, menurutnya mereka mempunyai kemampuan melebihi manusia normal. Di saat yang lain menjauhi orang-orang yang terbelakang, Zila justru mendekat pada mereka dan menyentuh mereka dengan nilai-nilai kebaikan. Dan aku harus mewujudkan keinginannya itu.

Kuharap juga, Anam bersedia bersanding dengannya kelak. Sehingga aku lebih dekat dengannya. Aku tahu, Anam bukanlah tipe lelaki yang melihat manusia dari sisi fisiknya saja, yang lebih ia utamakan adalah kelembutan hati dan kekuatan akidah manusia itu. Semoga harapan-harapanku ini juga akan dikabulkan Allah SWT, kapanpun waktunya. Karena aku tahu, Allah lebih mengetahui apapun yang terbaik untuk hamba-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar