Lima
belas menit sudah aku menunggu sejak pukul 10.00 WIB, akhirnya bus yang akan
mengantarkanku ke pekalongan tiba juga. Kulangkahkan kakiku yang lemah ini menuju
nomor kursi bus seperti tertera dalam karcis, 26. Inilah kursi yang menjadi
hakku sampai aku tiba ke lokasi tujuan. Sengaja kupilih bus patas supaya
perjalananku nyaman, tanpa harus mengkhawatirkan adanya asap rokok yang berbaur
dengan udara yang aku hirup untuk pernapasan. Di usia kelima puluh satu ini,
aku semakin menyanyangi anggota badanku yang fungsinya sudah mulai menurun
dimakan waktu. Kan kujaga amanah Allah berupa badan pelekat jiwaku ini.
Semua
penumpang telah siap di posisinya masing-masing. Bus mulai melaju pelan dan
menambah kecepatannya sedikit demi sedikit. Kupandangi pepohonan di tepi jalan.
Lalu kupindahkan pandanganku ke samping
kanan, ada seorang gadis belia yang sibuk dengan buku di tangan kanannya. Ingin
kusapa dia, tapi aku takut mengganggu aktivitasnya, sudahlah, kuurungkan saja
niatku. Kembali kupandangi pemandangan lewat jendela. Kini kudapati sawah yang
terbentang luas lengkap dengan pegunungan di ujungnya.
“Subhanallah,
indah ya bu.”
Terdengar
suara lembut di telingaku. Ternyata suara itu berasal dari gadis berkulit sawo
matang di sampingku. Bola matanya begitu jernih. Bulu matanya lentik. Tangannya
terlihat sudah tidak memegang buku.
“Iya nduk, bagus.” Sahutku lumayan kaget.
“Sungguh
tiada duanya, semua ciptaan Allah SWT luar biasa. Aku bangga menjadi hambaNya.”
Ujarnya dengan lembut ditaburi senyuman indah di bibirnya, sehingga menambah
manis parasnya yang biasa itu.
“Mbak sendirian?” Tanyaku.
“Iya,
bu.”
“Kuliah nggih?”
“Tidak,
bu, masih kelas tiga SMA.” Jawabnya.
“Sekolah
di mana, nduk?”
“SMA
Negeri 3 Semarang.”
“Owalah, cah pinter iki?” Kagumku.
“Kenapa,
bu?”
“Kamu ini
pintar ya, nduk?”
“Tidak,
bu. Saya tidak pintar. Cuma berusaha menjadi orang pintar.” Senyum malu-malu itu
masih melekat erat di wajahnya, “Kalau
saya boleh tahu, Ibu dari mana dan mau ke mana?”
“Saya
baru menghadiri pameran batik karya anak saya di hotel Pandanaran, ini mau
pulang ke Pekalongan.”
Perbincangan
kami terus berlangsung dan terhenti seketika, begitu ada dentuman keras
terdengar di telingaku ini. Oh, mengapa mataku sakit sekali? Dunia berubah,
yang dapat kulihat kini hanyalah kegelapan. Dan sepertinya bumi tidak dapat
lagi kurasakan kehadirannya.
¤¤¤¤¤
Saraf
tanganku merasakan kedinginan, saraf-saraf tubuhku lainnya pun mengikuti.
Kubuka kedua belah mataku pelan-pelan dan kupastikan semua benda di sekitarku
dapat tertangkap oleh mataku. Betapa terkejutnya aku, ruangan yang kutempati
sekarang lebih mirip dengan rumah sakit!
Anam, bukankah
itu anam? Iya, tidak salah lagi. Dia anam, anakku, mengapa dia tidur di kursi
sudut ruangan ini? Bukankah ia harus mengawasi pamerannya yang berlangsung satu
minggu? Apa dentuman keras itu mengakibatkan efek yang luar biasa padaku
sehingga anakku harus menjagaku sampai sedemikian rupa?
Dia
terbangun dari tidurnya dan berhambur cepat menuju tempat tidurku bak elang
menyambar mangsanya. Tatapan matanya berbinar-binar memandangku tanpa
henti. Luapan kebahagiaannya sungguh
luar biasa.
“Akhirnya
ibu siuman juga.” Suara yang bergetar itu ikut menggetarkan hatiku.
“Ada apa
sih, le? Ibu kenapa?”
“Ibu tak
sadarkan diri sejak kecelakaan di Alas Roban kemarin. Sopir kehilangan kendali
dan bus yang ibu tumpangi terguling ke kiri badan jalan. Kemudian, Ibu
dilarikan ke rumah sakit Siti Khadijah.”
“Kecelakaan?
Terus bagaimana penumpang yang lain?”
“Alhamdulillah
semuanya selamat. Hanya beberapa korban yang luka berat termasuk ibu.”
“Luka
berat bagaimana tho, le. Lha ibu
jelas-jelas sehat begini kok.”
“Iya,
sekarang ibu istirahat dulu saja. Dokter sudah memperbolehkan ibu pulang besok.
Tapi, lebih baik pulang lusa saja. Anam mau memastikan kesehatan ibu sudah
pulih benar.”
“Nggih, cah manangku sing bagus pisan.
Terus, bagaimana pameranmu?”
“Tenang,
bu. Sudah ada yang menghandle.”
Terima
kasih ya allah, Engkau telah menganugerahkan kepadaku anak yang sangat
menyanyangiku. Terima kasih suamiku, engkau telah memahatkan cintamu padaku dan
pada putramu. Meski kini kau telah mendahuluiku untuk menemuiNya, namun pengabdianku
padamu kan terus mengalir melalui do’a, dan kudidik buah hati kita menjadi anak
sholeh yang juga kan mengalirkan do’anya padamu tiada henti. Semoga kuburmu
dilingkupi cahayaNya. Semoga Allah mempertemukan kita sekeluarga di JannahNya.
Amiin.
¤¤¤¤¤
“Apa!
Mengapa kamu tidak memberitahukan Ibu perihal ini sejak dulu! Sedangkan kamu
juga tidak mengucapkan terima kasih padanya!”
Marahku tak tertahan. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana
aku bisa membalas kebaikan gadis itu? Ia pasti sangat menderita.
“Maafkan
anam, bu. Kata dokter, kedua bola mata ibu tertancap oleh serpihan kaca. Jika
Ibu tidak segera memperoleh mata donor, ibu akan buta selamanya. Anak perempuan
yang mengantarkan ibu langsung menawarkan kedua bola matanya untuk ibu. Namun,
ia tidak mau mencamtumkan identitasnya dalam data pendonor. Hanya tulisan ‘Hamba
Allah di Bumi Allah’ yang tercantum di sana. Setelah ibu selesai dioperasi, ia
langsung pulang ke rumahnya diantar pihak rumah sakit. Anam baru mendapat kabar
mengenai Ibu beberapa jam kemudian, untuk mengurus administrasi Ibu.”
Bagaimana
aku bisa membalas jasa yang luar biasa ini kepada gadis itu? Kita berdua baru
sekali jumpa, namun pengorbanan yang ia lakukan untukku melebihi pengorbanan
kerabat dekat, bahkan lebih dari itu. Karena tidak semua kerabat mau menolong
saudaranya yang sedang tertimpa kesusahan. Meskipun Allah telah menjanjikan
surga kepada orang yang ikhlas memberikan pertolongan kepada saudaranya.
Bagaimana
aku bisa menemukannya? Aku harus membalas jasanya! Mata ini adalah matanya.
Mata gadis muda. Mata yang jernih, yang tidak semua orang memilikinya. Ini
adalah mata yang ia gunakan untuk membaca, melihat fenomena kehidupan. Kini, ia
dalam kegelapan. Aku telah mencabut kebahagiaan darinya! Mengapa ia mau
melakukan ini?
Air
mataku berderai membasahi pipiku yang telah mengerut. Andai sopir itu tidak
lepas kendali! Andai tidak ada serpihan kaca yang masuk ke mataku! Ah, aku
tidak boleh menyalahkan orang lain atau apapun. Semuanya telah tercatat dalam
kitab Lauhul MahfudzNya.
Anam
mendekatiku dan mengelus pundakku. Ia berusaha menenangkanku yang larut dalam kesedihan.
“Apa ibu
mengetahui sesuatu hal darinya yang bisa menunjukkan kepada kita tentang
keberadaannya?” Anam melontarkan pertanyaan yang menggiringku pada peristiwa
sebulan yang lalu.
“Entah,
daya ingat ibu melemah.”
“Pasti
ada kan, bu. Mungkin nama, atau barang-barang yang ia bawa seperti apa?”
“Ibu
lupa. Sepertinya ibu tidak sempat menanyakan nama padanya meski kita berdua
berbincang cukup lama. Awal melihatnya, ia sedang membaca buku”
“Ibu
berbincang dengannya? Coba ibu ingat betul-betul, apa saja yang ia sampaikan
kepada ibu.”
“Iya. Ibu
akan mencoba.” Aku harus memusatkan konsentrasiku. Aku harus menemukan kata
kunci dari sekian kata yang sempat gadis itu ucapkan. Akhirnya ada sebuah titik
terang di sana.
“Anam,
ibu ingat satu hal.”
“Apa itu,
bu?”
“Gadis
itu masih sekolah, kelas tiga di SMA N 3 Semarang.”
“Ibu
yakin?” Tanya anam agak ragu.
“Iya, ibu
yakin betul. Waktu itu ibu bilang padanya kalau ia itu anak pintar. Tapi gadis
itu tidak mau mengakui. Padahal jelas-jelas ia sekolah di SMA Favorit, SMAmu
dulu, le.”
“Kalau
begitu. Sekarang kita ke Semarang, bu. Nanti ke kantor anam dulu. Besoknya kita
ke SMA N 3.”
“Iya, le. Semoga Allah mempermudah jalan kita
untuk menemukan gadis itu.”
¤¤¤¤¤
Apa yang
terjadi tidak sesuai harapan. Manusia harus berikhtiar, namun Allahlah yang
lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Awalnya aku menyangka akan segera
menemukan gadis itu. Namun, Allah berkehendak lain. Hanya selembar kertas
bertuliskan alamat Yayasan Yatim Piatu yang kuperoleh. Di kertas itu juga
tertulis nama gadis itu, Faza Nazila. Kepala SMA N 3 tidak mau menjelaskan alasan
mengapa Zila mengundurkan diri dari sekolahnya, padahal pihak sekolah akan
memberikan keringanan padanya saat Ujian Nasional nanti dengan dibantu
pemblokkan jawaban yang ia pilih ke dalam lembar jawab. Namun, Zila menolak.
Aku tak
akan menyerah untuk mencarinya. Seperti Zila yang tidak menyerah pada hiruk
pikuk kehidupan tanpa didampingi kedua orang tua kandungnya dari entah kapan
sampai saat ini, tak ada satupun kaum kerabatnya yang mau merawatnya.
Allah
benar-benar menguji kesabaranku. Sesampainya di Yayasan yatim piatu di Kota
Kuningan, tempat gadis itu dididik dan dibina, hasilnya nihil. Ia sudah pindah
ke Yayasan Tuna netra di Kota Lamongan. Yaa Allah, yaa Rabbku, beri aku
kekuatan untuk bisa melanjutkan pencarian ini.
¤¤¤¤¤
Terima
kasih Allah, Engkau telah mengabulkan harapanku. Aku percaya bahwa Engkau pasti
mengabulkan do’a tiap-tiap hamba-Mu sesuai waktu yang telah Engkau tetapkan.
Mulai
kulihat gapura SELAMAT DATANG DI KOTA LAMONGAN hingga memasuki kota itu hatiku
berdegup kencang. Entah apa yang terjadi. Degupan itu makin kencang saat
kutemukan sebuah gedung dengan plang bertuliskan YAYASAN TUNA NETRA NURUL
‘ILMI. Seorang wanita paruh baya menyambut kami, setelah Anam menjelaskan
maksud kami datang ke yayasan ini, wanita itu mengantarkan kami menuju ruangan
yang dipenuhi remaja-remaja putri yang sedang belajar huruf Braille. Dan di
antara remaja puteri berjilbab hijau muda itu, ada seorang gadis yang kukenali.
Zila. Rasa haruku mendesak kelenjar air mata untuk mengeluarkan butiran-butiran
jernih. Apa yang kucari kini telah nampak di pelupuk mata.
“Faza
nazila…..” isakku seraya kuraih tubuhnya itu.
“Ibu, kok
bisa sampai sini? Ada apa?” tanyanya polos. Ia masih mengenali suaraku.
“Aku
mencarimu, nduk. Mengapa kamu mau
berkorban demi Ibu?” derai air mata ini tak mau berhenti.
“Ibu….
Sudah sepantasnya saya membantu orang yang sedang membutuhkan. Kala itu, Ibu
sangat membutuhkan bantuan.” Jelasnya.
“Tapi,
kau telah melukai dirimu sendiri, nduk.”
“Zila
tidak melukai diri sendiri, bu. Zila malah mengobati diri Zila. Zila semakin
peka terhadap kehidupan ini. Zila dapat semakin bersyukur sama Allah. Zila
ingin membantu orang lain sesuai kemampuan Zila. Karena kala itu, kemampuan
Zila adalah Zila sendiri, jadi kuserahkan anggota tubuh Zila yang dibutuhkan
Ibu. Yang kuharapkan hanyalah ridho Allah, bukan selainnya” Terangnya dengan
senyum indah yang masih sama seperti pertama kali bertemu dengannya. Manis.
Sejuk.
“Terima
kasih, nduk. Kau telah berkorban
untuk menciptakan cahaya kedua dalam hidup ibu.”
Semua
rasa telah tercampur aduk dalam mangkuk jiwaku. Zila telah mengajarkanku-ibu
berumur 51 tahun- arti sebuah pengorbanan tanpa pamrih. Semoga Allah membalas
amal baikmu dengan Jannah-Nya. Amiin.
Meskipun
kuberikan seluruh hartaku untuk Zila, namun tidak akan sanggup melunasi
hutangku padanya. Namun, aku berniat untuk membiayai kuliah Zila nanti. Ia
pernah mengatakan saat di bus, kalau ia ingin menjadi guru di Sekolah Luar Biasa.
Di sekolah itu, ia bisa lebih dekat dengan anak-anak yang memilki keterbatasan,
menurutnya mereka mempunyai kemampuan melebihi manusia normal. Di saat yang
lain menjauhi orang-orang yang terbelakang, Zila justru mendekat pada mereka
dan menyentuh mereka dengan nilai-nilai kebaikan. Dan aku harus mewujudkan
keinginannya itu.
Kuharap
juga, Anam bersedia bersanding dengannya kelak. Sehingga aku lebih dekat
dengannya. Aku tahu, Anam bukanlah tipe lelaki yang melihat manusia dari sisi
fisiknya saja, yang lebih ia utamakan adalah kelembutan hati dan kekuatan
akidah manusia itu. Semoga harapan-harapanku ini juga akan dikabulkan Allah
SWT, kapanpun waktunya. Karena aku tahu, Allah lebih mengetahui apapun yang
terbaik untuk hamba-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar